KONSULTASI SYARIAH – Kondisi Akhir Zaman telah disebutkan oleh Rasulullah Muhammad shollallohu ‘alayhi wa sallam sebagai zaman yang penuh dengan berbagai macam kemaksiatan dan kejahatan di berbagai tempat. Termasuk kemaksiatan yang marak terjadi di zaman kita saat ini adalah perzinahan, yang di antara dampaknya adalah Hami di Luar Nikah.
Bagaimana hukumnya jika wanita yang hamil di luar nikah itu dinikahi, baik oleh pria yang menzinahinya ataupun pria lain? Mari kita simak jawaban dari salah seorang Anggota Dewan Syariah Wahdah Islamiyah, Ust. Fadhlan Akbar, Lc., M.H.I.
Hukum Menikahi Wanita yang Hamil Karena Perzinahan atau Ditinggal Cerai
Pertama: Wanita yang ditinggal (cerai/mati) oleh suaminya dalam keadaan hamil.
Kedua : Wanita yang hamil karena perzinahan sebagaimana yang banyak terjadi di zaman ini –wal ‘iyadzu billah– mudah-mudahan Allah menjaga kita, keturunan kita dan seluruh kaum muslimin dari dosa keji ini.
Adapun pada Kasus Pertama yaitu wanita hamil yang ditinggal (cerai/mati) oleh suaminya, maka ia tidak boleh dinikahi sampai selesai masa ‘iddahnya, yaitu sampai ia melahirkan, sebagaimana dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ
“Dan perempuan-perempuan yang hamil waktu ‘iddah mereka sampai mereka melahirkan kandungannya.” (QS. Ath-Tholaq: 4)
Dan hukum menikah dengan perempuan hamil seperti ini adalah haram dan nikahnya batil tidak sah sebagaimana dalam firman Allah Ta’ala:
وَلَا تَعْزِمُوا عُقْدَةَ النِّكَاحِ حَتَّى يَبْلُغَ الْكِتَابُ أَجَلَهُ
“Dan janganlah kalian ber’azam (bertetap hati) untuk beraqad nikah sebelum habis ‘iddahnya.” (QS. Al-Baqarah: 235)
Imam Ibnu Katsir dalam tafsir-nya tentang makna ayat ini menjelaskan : “Yaitu jangan kalian melakukan akad nikah sampai selesai ‘iddah-nya.” Lalu beliau menegaskan: “Dan para ‘ulama telah sepakat bahwa akad tidaklah sah pada masa ‘iddah.” (Zadul Ma’ad 5/156).
Adapun Kasus Kedua : wanita hamil karena perzinahan ( semoga Allah melindungi kita & keturunan kita darinya) :
Wanita yang hamil karena perbuatan zina tidak boleh dinikahi dan dinikahkan, baik dengan laki-laki yang menghamilinya atau pun dengan laki-laki lain, kecuali bila telah memenuhi dua syarat.
Syarat Pertama: Taubat dari perbuatan zina dengan taubat yg benar, sungguh-sungguh, ikhlas & jujur.
Hal ini dikarenakan Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengharamkan menikah dengan wanita atau laki-laki yang berzina, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
الزَّانِي لَا يَنْكِحُ إلَّا زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً وَالزَّانِيَةُ لَا يَنْكِحُهَا إِلَّا زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ وَحُرِّمَ ذَلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ
“Laki-laki yang berzina tidak mengawini, kecuali perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik dan perempuan yang berzina tidak dikawini, melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik dan yang demikian itu, diharamkan atas orang-orang yang mu?min.” (QS: An Nur : 3.)
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Al-Fatawa 32/109: “Menikahi perempuan pezina adalah haram sampai ia bertaubat, apakah yang menikahinya itu adalah yang menzinahinya atau selainnya. Inilah yang benar tanpa keraguan.”
Syekh Abdurrahman As-Sa’diy dalam Taysir Al Karimi Ar-Rahman menegaskan : “Ayat ini merupakan dalil yg sangat tegas dan jelas tentang haramnya menikahi wanita pezina sampai ia taubat, demikian pula (haramnya) menikahkan pria pezina sehingga ia taubat pula”.
Syaikh Al-Utsaimin berkata, “dari ayat ini kita dapat mengambil satu hukum yaitu haramnya menikahi wanita yang berzina dan haramnya menikahkan laki-laki yang berzina, dengan arti, bahwa seseorang tidak boleh menikahi wanita itu dan si laki-laki itu tidak boleh bagi seseorang (wali) menikahkannya kepada putri-nya.”
Imam As-Syaukani dlm kitab Nailul Authar 7/320 menjelaskan : “Dalam ayat ini terdapat petunjuk bahwa tidak halal bagi seorang wanita menikah dengan pria pezina dan demikian pula sebaliknya, tidak halal bagi seorang pria menikahi wanita yg nampak pada dirinya perbuatan zina.”
Dan Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wasallam menegaskan :
« الزاني المجلود لا ينكح إلا مثله »
“Seorang pezina yang telah dihukum cambuk hendaknya tidak dinikahkan kecuali kepada yang serupa dengannya” (HR. Ahmad & Abu Daud. Ibnu Hajar dlm kitab Bulugul Maram mengatakan : para perawi hadits ini terpercaya)
Bila seseorang telah mengetahui, bahwa pernikahan ini haram dilakukan namun dia memaksakan dan melanggarnya, maka pernikahannya tidak sah dan bila melakukan hubungan, maka hubungan itu adalah perzinahan. Bila terjadi kehamilan, maka si anak tidak dinasabkan kepada laki-laki itu atau dengan kata lain, anak itu tidak memiliki bapak.
Orang yang menghalalkan pernikahan semacam ini, padahal dia tahu bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengharamkannya, maka dia dihukumi sebagai orang musyrik. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
“Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan (sekutu) selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah” (QS: Asy Syruraa : 21)
Di dalam ayat ini Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan orang-orang yang membuat syari’at bagi hamba-hamba-Nya sebagai sekutu, berarti orang yang menghalalkan nikah dengan wanita pezina sebelum taubat adalah orang musyrik.
Adapun bila pezina itu telah taubat maka hukum haram menikahinya dan menikahkannya pun terhapus, berkata Ibnu Qudamah
:..فإذا تابت زال ذلك لقول النبي صلى الله عليه و سلم: التائب من الذنب كمن لا ذنب له
“Jika wanita pezina itu telah taubat maka hal itu (larangan menikahinya) terhapus sebab Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda : ‘Orang yang bertaubat dari dosanya seperti orang yang tak memiliki dosa lagi.'”
Bolehnya pernikahan tersebut setelah taubat, tentunya bila syarat ke dua berikut ini juga telah terpenuhi.
Syarat Kedua: Wanita itu harus beristibra (menunggu kosongnya rahim) dengan satu kali haidh, bila tidak hamil, dan bila ternyata hamil, maka sampai melahirkan kandungannya.
Rasulullah bersabda:
لاَ تُوطَأُ حَامِلٌ حَتَّى تَضَعَ وَلاَ غَيْرُ ذَاتِ حَمْلٍ حَتَّى تَحِيضَ حَيْضَةً
“Tidak boleh digauli (budak) yang sedang hamil, sampai ia melahirkan dan (tidak boleh digauli) yang tidak hamil, sampai dia beristibra’ dengan satu kali haid. “ (HR. Abu Daud, Ahmad, Ad Darimy, Al Hakim, Al Baihaqy dari haidts Abu Sa’id Al Khudry dan disahihkan oleh Syekh Al Bani)
Di dalam hadits di atas, Rasulullah melarang menggauli budak dari tawanan perang yang sedang hamil sampai melahirkan dan yang tidak hamil ditunggu satu kali haid, padahal budak itu sudah menjadi miliknya.
Juga sabdanya:
لاَ يَحِلُّ لاِمْرِئٍ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ أَنْ يَسْقِىَ مَاءَهُ زَرْعَ غَيْرِهِ وَلاَ يَحِلُّ لاِمْرِئٍ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ أَنْ يَقَعَ عَلَى امْرَأَةٍ مِنَ السَّبْي حَتَّى يَسْتَبْرِئَهَا
Artinya, “Tidak halal bagi orang yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, dia menuangkan air (maninya) pada semaian orang lain.” (HR.Abu Dawud, Ahmad Al Baihaqy dari hadits Rafi’ bin tsabit al Anshary dan di hasankan oleh Syekh Albani dlm Irwa’)
Sebahagian besar orang membolehkan pernikahan bathil ini berdalih, bahwa janin yang dirahim wanita itu toh adalah janin yang terbentuk dari sperma pria yang menzinainya yang kemudian hendak menikahinya. Olehnya tidak perlu istibra’ (mengosongkan rahim dari sperma/janin)
Menjawab akal-akalan ini maka mari kita serahkan kepada Al Imam Muhammad Ibnu Ibrahim Al Asyaikh, beliau berkata : “Tidak boleh menikahinya sampai dia taubat dan selesai dari masa iddahnya dengan melahirkan janin yang dikandungnya, karena perbedaan dua air (sperma), antara najis (akibat zina) dan suci (setelah aqad nikah), dan antara (sperma) baik dan buruk dan karena perbedaan status hukum senggama: menggauli dari sisi haram (zina) dan halal (setelah aqad nikah).”
Kibarul Ulama (Ulama-ulama besar) dalam Al-Lajnah Ad-Daimah (Dewan Fatwa) Saudi Arabiyah menegaskan: Bila dia (pria yang menzinainya telah taubat) dan ingin menikahi wanita itu, maka dia wajib menunggu wanita itu hingga beristibra dengan satu kali haid sebelum melangsungkan akad nikah dan bila ternyata dia hamil, maka tidak boleh melangsungkan akad nikah dengannya, kecuali setelah wanita itu melahirkan kandungannya, berdasarkan hadits Nabi yang melarang seseorang menuangkan air (maninya) di atas semaian orang lain.
Selanjutnya jika masih ada orang yang nekat menikahkan putrinya yang telah berzina tanpa beristibra terlebih dahulu, sementara telah sampai kepadanya penjelasan bahwa pernikahan seperti itu tidak boleh, demikian pula pria serta wanita yang hendak menikah itu juga telah mengetahui bahwa pernikahannya dalam kondisi seperti yang telah dijelaskan adalah haram, maka pernikahannya itu tidak sah.
Bila dalam pernikahan mereka itu keduanya melakukan hubungan badan maka hal tersebut dianggap zina. Hendaknya mereka segera bertaubat dan pernikahannya mesti diulangi, tentunya setelah selesai istibra dengan satu kali haidh dari hubungan badan yang terakhir mereka lakukan atau setelah melahirkan jika wanitanya hamil lagi.
Wallahu a’lam bishawab
Sumber: wahdah.or.id
Bagaimana bila menikahi wanita hamil zina dengan laki laki lain dan kehamilannya yaitu 5 bulan apakah
1. sahkan pernikahannya? Bagaimana status nasab anak ke 1..?
2. anak ke 2 lahir lagi..tapi ternyata hasil zina istrinya yang selingkuh dengan laki laki lain lagi ketika sudah menikah dan baru terbukti setelah mereka bercerai tapi karena kasihan tetap ke 2 anak yang lahir tersebut dianggap anak kandung .bagaiman bila sang ayah meninggal apakah ke 2 anak tersebut mendapatkan harta waris? Mohon penjelasannya
Bismillah walhamdulillah washsholatu wassalamu ‘ala rosulillah…
Mari kita memohon kepada Allah agar kita dan keluarga kita serta kaum muslimin lainnya senantiasa mendapatkan perlindungan dari Allah ta’ala dari berbagai macam bentuk perzinahan.
Terkait pertanyaan anda, maka kami menjawab bahwa:
1. Terdapat perbedaan pendapat terkait hukum menikahi wanita hamil hasil zina. Adapun Syaikh Abdul Aziz Bin Baz rahimahullah menjelaskan bahwa Wanita yang sedang hamil, baik dari hubungan yang halal maupun haram (hubungan zina), maka tidak boleh dinikahi sampai dia suci atau sampai dia melahirkan kandungannya. Menikahi wanita yang jelas sedang hamil (5 bulan), terlebih lagi hasil zina, maka hukumnya haram. Pernikahannya tidak sah. Konsekuensi dari menikahi wanita hamil adalah nikahnya tidak sah, baik yang menikahinya adalah laki-laki yang menzinainya atau laki-laki lain. Inilah pendapat terkuat sebagaimana yang dipilih oleh para ulama Hambali dan Malikiyah. Bila seseorang nekad menikah, sedangkan dia tahu bahwa pernikahan itu tidak boleh dan si laki-laki serta si wanita juga mengetahui bahwa itu adalah haram, maka pernikahannya itu tidak sah. Bila keduanya melakukan hubungan badan maka itu adalah zina. Dia harus taubat dan pernikahannya harus diulangi. Adapun terkait status anak ke 1, maka dia bernasab kepada ibu dan keluarga ibunya, bukan kepada bapak yang menzinai ibunya, sehingga hak2 warisan tidak diperoleh si anak. Dan jika anak yang lahir adalah perempuan, maka tidak boleh dinikahkan oleh bapak yg menzinai ibunya. Status bapaknya sama saja sebagai Bapak Tiri.
2. Kedua anak itu, bukanlah anak dari laki-laki yang menikahi si wanita. Sehingga tidak ada hak waris yang didapatkan oleh anak dari suami ibunya, apalagi jika sudah bercerai. Namun laki-laki tersebut boleh saja bersedekah dan merawat kedua anak tersebut sebagai bentuk kebaikan kepada sesama muslim.
Wallohu a’alam. Demikianlah buruknya perzinahan. Semoga Allah melindungi kita semua dan keluarga kita dari keburukan hal tersebut.