Banyak yang bertanya tentang hukum jual beli dengan sistem cicilan, apakah ia termasuk akad yang dibolehkan atau tidak? Apakah ia termasuk akad riba atau tidak? Untuk menjawab persoalan ini berikut akan dijelaskan tentang jual beli dengan sistem cicilan yang dalam bahasa Arabnya dikenal dengan istilah bay’ al-Taqsith (بيع التقسيط)
Jual beli al-Taqsith didefinisikan sebagai berikut:
بيع يُعَجَّل فيه المبيع (السلعة) ويتأجل فيه الثمن كلُّه أو بعضُه على أقساط معلومة لآجال معلومة
“Jual beli dengan penyerahan barang secara tunai (kepada pembeli) dengan pembayaran yang ditunda baik secara keseluruhan atau sebagian dengan dibagi dalam beberapa bagian dan dalam tempo yang telah ditentukan”.
Bentuk jual beli ini telah menyebar di tengah-tengah masyarakat, bahkan hampir dapat dikatakan setiap kita secara langsung bersentuhan dengan bentuk jual beli ini, baik dilakukan dengan individu tertentu atau dengan lembaga pembiayaan yang menawarkan sistem ini kepada konsumen, terutama pada jual beli kendaraan bermotor dan perumahan dan begitu pula kebutuhan perlengkapan rumah tangga sampai barang-barang elektronik dan komunikasi. Olehnya itu mengetahui hukum-hukam yang berkaitan dengan jual beli ini menjadi sangat penting.
Hukum Jual Beli dengan Sistem Cicilan
Secara umum, terdapat beberapa dalil yang mengisyaratkan bolehnya jual beli dengan mengakhirkan pembayaran, di antaranya:
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اشْتَرَى طَعَامًا مِنْ يَهُودِيٍّ إِلَى أَجَلٍ وَرَهَنَهُ دِرْعًا مِنْ حَدِيدٍ .
“Dari Aisyah –Radhiyallahu ’anha’- bahwasanya Nabi –Shallallahu ’alaihi wasallam- telah membeli (bahan) makanan kepada seorang yahudi dengan pembayaran tunda disertai jaminan berupa baju perang yang terbuat dari besi.” (HR. Bukhari No. 2068 & Muslim No. 1603)
Hadits ini menunjukkan bolehnya jual beli dengan pembayaran yang diakhirkan (ditunda), dan bentuk ini pada hakikatnya terdapat dalam bentuk jual beli dengan sistem cicilan, akan tetapi pembayarannya dibagi dalam beberapa bagian dalam tempo tertentu yang telah ditetapkan. Para ulama dalam hal ini tidak membedakan hukum pembayaran tunda dibayarkan sekaligus satu kali pada waktu yang telah ditetapkan atau dibayarkan beberapa kali dalam waktu yang berbeda.
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ : جَاءَتْنِي بَرِيرَةُ فَقَالَتْ كَاتَبْتُ أَهْلِي عَلَى تِسْعِ أَوَاقٍ فِي كُلِّ عَامٍ وَقِيَّةٌ .
Dari Aisyah –Radhiyallahu ’anha- berkata: “Barirah datang kepadaku dan berkata: Saya telah menebus diriku kepada tuanku dengan mukaatabah (pembayaran tunda) senilai Sembilan Awaaq, setiap tahunnya satu Uqiyah”. (satu uqiyah = 40 dirham, jadi sembilab awaaq = 360 dirham). (HR. Bukhari No. 2168)
Hadits ini menjelaskan bolehnya menunda pembayaran dalam beberapa tahap dan inilah yang belaku dalam jual beli secara cicilan.
Dua dalil yang telah disebutkan di atas menunjukkan bahwasanya jual beli dengan pembayaran tunda adalah dibolehkan. Akan tetapi yang menjadi masalah adalah: Bolehkah menambah/menaikkan harga suatu barang dari harga tunai dengan sebab penundaan waktu pembayaran?
Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini. Sebagian para ulama melarang bahkan mengharamkan penambahan ini dengan alasan bahwa hal ini termasuk riba, karena penambahan harga sebagai konsekuensi adanya penambahan waktu pada hakikatnya adalah riba. Akan tetapi mayoritas ulama memandang hal ini dibolehkan termasuk empat madzhab yang masyhur:
( الثمن قد يزاد لمكان الأجل )
Dalam madzhab Hanafi: “Harga dapat ditambahkan karena adanya waktu”, lih: (Bada’i as-Shana’I 5/187)
( جَعل للزمان مقدار من الثمن )
Madzhab Maliki: “Tempo dapat dimasukkan ke dalam harga”. (Bidayah al-Mujtahid 2/108).
( الخمسة نقداً تساوي ستة نسيئة )
Madzhab Syafi’i: “Lima dibayar tunai sama dengan enam jika dibayar tunda”. (al-Wajiiz 1/85)
( الأجل يأخذ قسطاً من الثمن )
Madzhab Hanbali: “Tempo dapat dimasukkan dalam penetapan harga”. (Fatawa Ibn Taimiyah 29/499)
Pandangan empat madzhab ini berlandaskan dalil-dalil berikut:
1. Firman Allah Ta’ala yang artinya: “Dan Allah menghalalkan jual beli” (QS. al-Baqarah : 275)
Keumuman ayat ini mencakup semua bentuk jual beli termasuk diantaranya jual beli dengan pembayaran tunda dengan penambahan disebabkan adanya tambahan tempo pembayaran.
2. Firman Allah Ta’ala yang artinya: “Wahai orang-orang yang beriman kalian memakan harta di antara kalian dengan cara yang batil, melainkan dengan perdagangan yang (didasari) adanya keridhaan di antara kalian”. (QS. an-Nisaa’: 29)
Secara umum ayat ini mengisyaratkan bolehnya jual beli dengan adanya keridhaan dari kedua pihak yang berakad. Jika pihak pembeli ridha dengan adanya tambahan harga dengan sebab adanya tambahan waktu pembayaran, maka jual beli ini sah secara hukum.
3. Hadits Ibnu Abbas –Radhiyallahu ’anhuma-:
قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ وَهُمْ يُسْلِفُونَ بِالتَّمْرِ السَّنَتَيْنِ وَالثَّلَاثَ فَقَالَ: مَنْ أَسْلَفَ فِي شَيْءٍ فَفِي كَيْلٍ مَعْلُومٍ ، وَوَزْنٍ مَعْلُومٍ، إِلَى أَجَلٍ مَعْلُومٍ.
“Nabi Shallallahu ’alaihi wasallam ketika tiba ke kota Madinah mendapati penduduknya melakukan jual beli salam untuk tempo dua tahun hingga tiga tahun, maka beliau bersabda: “Siapa yang melakukan jual beli salam, maka hendaklah takarannya jelas, timbangannya jelas, dan penentuan waktunya jelas”. (HR Bukhari No. 2086)
Jual beli salam dibolehkan dengan dalil nash dan ijma’ ulama. Jual beli ini memiliki kemiripan dengan jual beli dengan cara mencicil. Di antara hikmahnya menurut para ulama adalah agar si pembeli dapat menikmati harga yang lebih rendah, sementara di pihak penjual dapat menerima pembayaran di awal. Dan ini merupakan bukti bahwa adanya penentuan tempo/waktu dapat mempengaruhi penetapan harga. Dan hal ini dibolehkan dalam akad jual beli. (lihat: al-Mughni 6/385).
4. Kaum muslimin telah melakukan penambahan harga dengan adanya tambahan tempo pembayaran, tanpa adanya penginkaran terhadap transaksi ini. Maka hal ini dapat dikategorikan seperti ijma’ (konsensus) terhadap salah satu bentuk jual beli.
Berikut ini dinukilkan fatwa Syeikh Ibnu Baz –Rahimahullah- tentang hukum penambahan harga disebabkan adanya penundaan tempo pembayaran:
Akad muamalah ini tidak ada masalah karena jual beli tunai tidak sama dengan jual beli tunda. Kaum muslimin sejak dahulu telah melakukan bentuk muamalah ini, maka hal ini dapat dikategorikan seperti sebuah ijma’ akan kebolehannya. Sebagian kecil dari ulama menyelisihi kesepakatan ini dan menganggap adanya tambahan harga dengan sebab tambahan waktu termasuk riba. Pendapat ini tidak akurat dan sama sekali (muamalah) tidak termasuk dalam kategori riba, karena pada dasarnya maksud pihak penjual ketika menjual barang dengan penundaan tempo pembayaran adalah adanya tambahan harga, sementara pihak pembeli dengan keridhaannya menerima tambahan harga tersebut sebagai konsekwensi adanya penundaan dan ketidakmampuannya untuk membayar secara tunai. Maka kedua pihak telah mengambil manfaat dengan muamalah ini. Dan perkara ini juga ditunjukkan oleh Nabi Shallallahu ’alaihi wasallam dalam hadits yang shahih di mana beliau pernah memerintahkan sahabat Abdullah ibn ‘Amr Ibn Ash untuk menyiapkan satu pasukan perang maka beliau membeli satu ekor unta dengan pembayaran dua ekor unta secara tunda. Begitu juga jenis muamalah ini masuk dalam keumuman firman Allah Ta’ala (yang artinya): “Wahai orang-orang yang beriman jika kalian melakukan muamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kalian menuliskannya” (QS. al-Baqarah: 282).
Maka muamalah ini dapat dikategorikan sebagai salah satu bentuk muamalah tidak tunai yang dibolehkan yang dimaksudkan dalam ayat ini, sebagaimana ia juga masuk dalam kategori salah satu bentuk jual beli salam….(Lih: Fatawa islamiyah 2/331).
Wallahu Ta’ala A’lam. (Makalah ini merupakan terjemahan salah satu pertanyaan yang terdapat website https://islamqa.info/ar/13973 dengan beberapa penambahan)
Penulis : Ust. Ahmad Hanafi, Lc., M.A., Ph.D. (Wakil Ketua Dewan Syariah Wahdah Islamiyah)
Sumber : Markaz Inayah