بسم الله الرحمن الرحيم
Alhamdulillah washshalaatu wassalaamu ‘ala Rasulillah waba’du.
Pembahasan kita adalah tentang suatu hal yang sangat penting, terlebih apa yang kita dengar dan ketahui akhir-akhir ini terkait peperangan yang tengah bergejolak di negeri tercinta Palestina, sejatinya sengketa antara Umat Islam dan Yahudi, bukan karena keberadaan dua negara yang mewakili sedang berkonflik, tetapi semuanya bermula sejak zaman Nabi ﷺ, khususnya ketika Masyarakat Islam hidup berdampingan dengan kabilah-kabilah Yahudi yang ada di kota mulia tersebut. Agar kita kembali menguatkan wawasan itu, perlu kita kembali menelaah lembar-lembar sejarah bagaimana sikap Rasulullah ﷺ terhadap kaum Yahudi yang berada di Madinah, di mana kala itu ada tiga suku besar Yahudi: Banu Qaynuqa, Banu Nadhir, dan Banu Qurayzha, dan di utara Madinah dan Wadi al-Qura tinggal sekelompok besar Yahudi lainnya yang berkumpul terutama di wilayah Khaybar. Bagaimana Rasulullah ﷺ menghadapi berbagai sekte dan suku yang berbeda dari kalangan Yahudi ini?
Sifat dan Tabiat orang-orang Yahudi
Untuk mengetahui bagaimana Rasulullah ﷺ menyikapi keberadaan kaum Yahudi dan cara bermuamalah dengan mereka, kita harus mengetahui latar belakang sifat-sifat Yahudi, dan latar belakang strategi Yahudi dalam menghadapi umat Islam. Di dalam Al-Quran terdapat penggalan ayat yang merangkum hal tersebut, dalam firman Allah Ta ’ala:
لَتَجِدَنَّ أَشَدَّ ٱلنَّاسِ عَدَٰوَة لِّلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱلۡيَهُودَ وَٱلَّذِينَ أَشۡرَكُواْۖ
“Pasti akan kamu dapati orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang-orang yang beriman, ialah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik”. (Surat Al-Ma’idah: 82)
Kedengkian dan permusuhan yang didapatkan oleh Rasulullah ﷺ beserta Sahabat radhiallahu ‘anhum sebelum melakukan hijrah pada periode makkah sangat berat, intimidasi bahkan siksaan fisik mewarnai periode itu, tercatat beberapa nama yang dengan gemilang memperoleh gelar syahid pertama dalam Islam, hanya saja kedengkian, permusuhan dan tipu muslihat kaum Yahudi jauh lebih parah, dan tidak heran jika dalam ayat di atas Allah سبحانه و تعالى memulai dengan mereka: “Pasti akan kamu dapati orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang-orang yang beriman, ialah orang-orang Yahudi…”
Mari kita lihat cara pendekatan Islam menangani kaum Yahudi, dan cara hukum Islam menyelesaikan permasalahan dengan mereka.
Sebelum Rasulullah ﷺ hijrah dari Mekkah ke Madinah, terdapat persiapan psikis dan mental untuk para sahabat. Agar mereka mengetahui ke mana mereka akan pergi selanjutnya, meskipun pada periode makkah umat Islam tidak mengetahui bahwa mereka akan berangkat dan hijrah ke suatu tempat yang tidak hanya dihuni oleh penduduk lokal tetapi ada beberapa kelompok Yahudi di sana, namun hal ini merupakan bagian dari mukjizat nyata dalam Al-Quran, karena banyak ayat-ayat Al-Quran yang menyebut kaum Yahudi pada periode Makkah. Dan ayat-ayat makkiyah yang berbicara tentang kaum Yahudi dan Bani Israil terlalu banyak untuk dihitung.
Dari sudut ini kita ingin sejenak berhenti dan berusaha menyelami lautan hikmah di balik skenario Allah سبحانه و تعالى, di antaranya adalah bahwa ayat-ayat makkiyah tentang kaum Yahudi membuka wawasan sahabat رضي الله عنهم sebelum hidup berdampingan dengan mereka, dan sebelum mereka mengetahui bahwa mereka akan memiliki sebuah negara yang akan mengatur kehidupan bermasyarakat di sana. Demikian juga dalam ayat-ayat makkiyah lainnya yang menceritakan tentang bangsa Romawi, seakan-akan ini menyadarkan mereka tentang apa yang ada di bumi saat itu.
Di sisi lain kita akan menemukan Rasulullah ﷺ pernah bercerita kepada para Sahabat tentang raja-raja Persia. Menceritakan kepada mereka tentang Caesar, Khosrau, dan Al-Muqawqis, Rasulullah ﷺ mengenal para pemimpin dunia kala itu, meskipun pada kenyataannya umat Islam pada masa Mekkah dianiaya dan terusir serta tidak mempunyai kekuasaan dan pengaruh sedikit pun, bahkan mereka cenderung untuk tidak melakukan perlawanan terhadap kaum musyrikin, artinya: kemungkinan untuk mendirikan negara sangat kecil atau bahkan mustahil jika melihat kondisi mereka, namun Allah Pemilik semesta alam mengajari mereka bagaimana dunia berputar di sekitar mereka, dan ini adalah pelajaran hidup yang harus kita pegang teguh. Jangan kita mengatakan: “Kita adalah negara Islam yang kecil atau sekelompok kecil yang berusaha tegak di atas agamanya sehingga tidak perlu kita mengetahui kondisi dunia di sekeliling kita”, ini adalah cara berpikir yang keliru, memang sangat kita sayangkan ketika menemukan banyak anak muda yang tidak tahu apa-apa tentang kondisi dunia, mereka tidak tahu apa yang terjadi di Palestina, apa yang terjadi di Chechnya, apa yang terjadi di Kashmir, Irak, Sudan, apa yang terjadi antara India dan Pakistan, apa yang terjadi antara Amerika dan Rusia, dan apa yang terjadi antara Amerika dan Tiongkok? Banyaknya hubungan internasional yang rumit dan terjalin di sekitar umat Islam sedikit banyaknya harus dipahami oleh umat Islam, karena suatu hari nanti mereka akan mendapat manfaat dari hal-hal ini, beberapa kekuatan akan muncul dan yang lainnya akan hilang, dan hal ini dapat berdampak negatif atau positif terhadap umat Islam.
Ayat-ayat makiah menyebutkan tentang Bani Israel dengan kata “Bani Israel” dan tidak pernah menyebut kata “Yahudi”, kata ini barulah muncul setelah mereka banyak melakukan pelanggaran, sebelumnya mereka menjadi pengikut Musa عليه السلام, dan para nabi setelahnya.
Israel adalah Nabi Yakub عليه السلام, dan sejatinya penisbatan mereka kepada seorang nabi menjadi kehormatan, pengagungan dan kemuliaan bagi mereka, di sisi lain Al-Quran juga menyematkan kata (Ahli Kitab) yang meliputi kaum Yahudi dan Nasrani, dan kata ini diulang sekitar tiga puluh kali di seluruh Al-Quran.
Secara umum Allah سبحانه و تعالى menyebutkan bahwa Bani Israel banyak mendapatkan karunia, sampai-sampai Allah SWT berfirman:
وَلَقَدِ ٱخۡتَرۡنَٰهُمۡ عَلَىٰ عِلۡمٍ عَلَى ٱلۡعَٰلَمِينَ
“Dan sungguh, Kami pilih mereka (Bani Israil) dengan ilmu (Kami) di atas semua bangsa (pada masa itu)”. (Surat Ad-Dukhan: 32)
dan masih banyak ayat-ayat lain yang serupa dengan makna ini.
Allah سبحانه و تعالى menyifatkan Bani Israil sebagai kaum yang sabar atas kezaliman Firaun, Allah سبحانه و تعالى berfirman:
وَتَمَّتۡ كَلِمَتُ رَبِّكَ ٱلۡحُسۡنَىٰ عَلَىٰ بَنِيٓ إِسۡرَٰٓءِيلَ بِمَا صَبَرُواْۖ وَدَمَّرۡنَا مَا كَانَ يَصۡنَعُ فِرۡعَوۡنُ وَقَوۡمُهُۥ وَمَا كَانُواْ يَعۡرِشُونَ
“Dan telah sempurnalah firman Tuhanmu yang baik itu (sebagai janji) untuk Bani Israil disebabkan kesabaran mereka. Dan Kami hancurkan apa yang telah dibuat Firaun dan kaumnya dan apa yang telah mereka bangun”. (Surat Al-A’rāf: 137)
Demikian juga perintah Allah سبحانه و تعالى:
وَلَا تُجَٰدِلُوٓاْ أَهۡلَ ٱلۡكِتَٰبِ إِلَّا بِٱلَّتِي هِيَ أَحۡسَنُ إِلَّا ٱلَّذِينَ ظَلَمُواْ مِنۡهُمۡۖ
“Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab, melainkan dengan cara yang baik kecuali dengan orang-orang zalim di antara mereka”. (Surat Al-Ankabūt: 46)
Tentunya keberadaan ayat-ayat ini menimbulkan kesan positif di kalangan umat Islam terhadap kaum Yahudi, dan hal itu bukanlah sesuatu yang aneh karena mereka adalah Ahli Kitab, mereka beriman kepada Allah سبحانه و تعالى, mereka beriman kepada Rasul-rasul dan kitab-kitab samawi, dan mereka meyakini kemunculan seorang nabi terakhir sebagaimana yang dikabarkan dalam kitab-kitab mereka, kesan positif tersebut memberikan ruang bagi umat Islam untuk membangun wasilah dakwah, membuka dialog, bahkan berdebat dengan cara yang lebih baik dengan mereka, dengan landasan dasar keimanan yang sama.
Namun pada saat yang sama, tentu kita tidak lupa bahwa Allah سبحانه و تعالى juga menyebutkan dalam Ayat-ayat makiah beberapa hal yang meninggalkan kesan negatif bagi umat Islam terhadap kaum Yahudi, misalnya: Ketika Allah سبحانه و تعالى menyebutkan tentang kaum Musa عليه السلام yang mengambil anak lembu sebagai sesembahan selain Allah سبحانه و تعالى:
وَٱتَّخَذَ قَوۡمُ مُوسَىٰ مِنۢ بَعۡدِهِۦ مِنۡ حُلِيِّهِمۡ عِجۡلا جَسَدا لَّهُۥ خُوَارٌۚ
“Dan kaum Musa, setelah kepergian (Musa ke Gunung Sinai) mereka membuat patung anak sapi yang bertubuh dan dapat melenguh (bersuara) dari perhiasan (emas)”. (Surat Al-A’raf: 148)
Para sahabat r.a. mengetahui bahwa orang-orang yang menyembah anak sapi adalah nenek moyang orang-orang Yahudi yang tinggal di Madinah. Mereka menghinakan diri dengan sujud kepada patung anak sapi ketika Musa عليه السلام meninggalkan mereka selama empat puluh hari. Para Sahabat radhiyallahu ‘anhum selama tiga belas tahun berada di Mekkah, mereka tidak pernah berpikir atau melakukan perbuatan apa pun yang mengandung kemusyrikan, mereka memahami hakikat penghambaan kepada Allah سبحانه و تعالى, seluruh hidup mereka adalah untuk Istiqomah di jalan Allah SWT, dan sangat aneh bagi mereka jika ada orang-orang yang mengaku beriman kepada Rasul dan Tuhan, sedangkan mereka tidak memahami hakikat penghambaan dan melakukan cara seperti itu.
Kita juga mendapati dalam Ayat-ayat makiah firman Allah سبحانه و تعالى:
قَالُوٓاْ أُوذِينَا مِن قَبۡلِ أَن تَأۡتِيَنَا وَمِنۢ بَعۡدِ مَا جِئۡتَنَا
Mereka (kaum Musa) berkata, “Kami telah ditindas (oleh Firaun) sebelum engkau datang kepada kami dan setelah engkau datang”. (Surat Al-A’rāf: 129)
“Kami dirugikan sebelum kamu datang kepada kami dan setelah kamu datang kepada kami”. (Al-A’rāf: 129)
Bagaimana mungkin seorang pembawa petunjuk kepada jalan Allah سبحانه و تعالى diperlakukan sedemikian rupa oleh pengikutnya sementara Sahabat r.a. begitu memuliakan para Nabi dan Rasul??? Dan masih banyak lagi dalam ayat-ayat lainnya perlakuan buruk mereka, kita akan menemukan kisah tentang desa bani Israel yang berada di tepi laut, begitu pula kisah Bani Israil yang menyeberangi lautan, lalu mereka bertemu dengan suatu kaum yang menyembah berhala-berhala, lalu mereka berkata kepada Nabi Musa alaihisalam: “Wahai Musa, jadikanlah bagi kami Tuhan sebagaimana mereka mempunyai tuhan-tuhan” (Al- A’rāf: 138). Den
an berbekal pengetahuan ini Rasulullah ﷺ beserta para sahabat r.a. memasuki kota Madinah, bahwa orang-orang Yahudi adalah ahli Kitab seperti kita, dan pengikut nabi seperti kita, dan mereka beriman kepada satu Tuhan seperti kita, namun mereka harus berhati-hati karena mereka berasal dari suatu kaum yang pernah berbuat zalim terhadap para Nabi, ingkar terhadap ketaatan kepada Allah, mempermainkan syariat Allah, berselisih paham setelah ilmu yang terang sampai kepada mereka, ingkar dan kufur terhadap nikmat dan seterusnya.
Ada kesan positif dan juga kesan negatif di mana Umat Islam menaruh harapan besar kiranya orang-orang Yahudi mau memeluk Islam, tetapi pada saat yang sama mereka dalam kewaspadaan penuh terhadap hal-hal yang tidak diinginkan dari tipu daya dan makar mereka.
Apa yang dilakukan Rasulullah ﷺ kepada orang-orang Yahudi untuk mendekatkan hati mereka kepada Islam?
Ketika Rasulullah ﷺ memasuki kota Madinah, beliau ﷺ berusaha melunakkan hati orang-orang Yahudi, dan ingin membuat mereka merasakan bahwa mereka adalah satu kelompok mukmin, maka beliau SAW melakukan dua hal penting yang berlandaskan wahyu dari Allah سبحانه و تعالى.
Pertama: Arah kiblat menuju Baitul Maqdis
Dalam Shahih al-Bukhari dan Muslim bahwa Rasulullah ﷺ salat menghadap Baitul Maqdis selama tujuh belas bulan sejak awal memasuki kota Madinah sampai sesaat sebelum perang Badar[1].
Arah kiblat yang sama memberikan kesan yang jelas bahwa mereka adalah satu kelompok yang sama, menghadap kiblat yang sama. Kita dan mereka menyembah Tuhan Yang Maha Tunggal, dan kita sama-sama mengimani semua nabi-nabi sebelumnya.
Kedua: Puasa Asyura.
Ketika Rasulullah ﷺ memasuki Madinah, beliau ﷺ mendapati orang-orang Yahudi sedang berpuasa pada hari Asyura. Rasulullah SAW bertanya kepada mereka: “Hari apa ini, yang kalian sedang berpuasa?” Mereka berkata: Ini adalah hari yang agung di mana Allah سبحانه و تعالى menyelamatkan Musa alaihisalam dan kaumnya, dan menenggelamkan Firaun dan kaumnya, Musa alaihisalam berpuasa sebagai bentuk rasa syukur, maka kami pun berpuasa. Rasulullah ﷺ bersabda: “Kami lebih berhak dan lebih pantas atas Musa alaihisalam daripada kalian, maka Rasulullah ﷺ berpuasa dan memerintahkan kaum muslimin untuk berpuasa[2].
Umat Islam dan Yahudi berpuasa satu hari dalam setahun, dan hari itu adalah pemuliaan untuk Nabi Musa alaihisalam yang telah memperjuangkan kalimat Tauhid. Para Nabi dan Rasul adalah utusan Allah سبحانه و تعالى yang memperjuangkan risalah yang sama, menuntun Umat Manusia ke jalan Tuhannya.
Kisah Keislaman Abdullah bin Salam dan Reaksi Kaum Yahudi Bani Qaynuqa
Rasulullah ﷺ berdakwah kepada orang-orang Yahudi, beliau ﷺ mengumpulkan orang-orang Yahudi sekali, dua kali, dan tiga kali, terkadang mengumpulkan dan mempertemukan antara suku yang satu dengan yang lainnya, dan terkadang berbicara kepada perorangan.
Suatu ketika orang-orang dari Bani Qaynuqa, Bani Nadhir, dan Bani Qurayzha mendatanginya, dan orang pertama yang menemuinya adalah seorang laki-laki dari Bani Qaynuqa bernama Abdullah bin Salam radhiyallahu ‘anhu, sebelum masuk Islam ia dikenal dengan nama Al-Hushain bin Salam, dan setelah memeluk Islam Rasulullah ﷺ menamainya Abdullah.
Ia baru saja mendengar kedatangan Rasulullah ﷺ ke kota Madinah, dan ingin mengujinya untuk mengetahui apakah dia adalah utusan Allah سبحانه و تعالى yang disebutkan dalam Taurat atau kitab lainnya?! Maka dia mendatangi Rasulullah ﷺ dan berkata kepadanya: “Saya bertanya kepadamu tentang tiga hal yang hanya diketahui oleh seorang Nabi: Apa tanda pertama Hari Kiamat? Makanan apa yang pertama kali dimakan oleh penghuni surga? Dari manakah seorang anak mirip ayahnya dan bagaimanakah dia mirip ibunya? Rasulullah ﷺ bersabda: “baru saja Jibril ‘alaihisalam memberitahu aku, adapun tanda pertama Hari Kiamat: adalah api yang muncul dan akan menggiring manusia dari timur ke barat, dan makanan pertama penghuni surga adalah hati ikan paus, dan adapun kemiripan seorang anak, apabila sang suami mendatangi istrinya dan air maninya mendahului air mani istrinya, berarti akan lahir anak yang menyerupai bapaknya, namun bila air mani istrinya mendahului air mani suaminya, maka akan lahir anak yang mirip dengan ibunya.” Mendengar itu Abdullah bin Salam berkata, “Aku bersaksi tidak ada Ilah yang berhak disembah selain Allah dan engkau adalah Rasulullah.” Kemudian dia berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya orang-orang Yahudi adalah kaum yang sangat suka berbohong (menuduh). Untuk itu, tanyalah mereka tentang aku sebelum mereka mengetahui keislamanku.” Setelah itu orang-orang Yahudi datang (dan Abdullah bin Salam bersembunyi di dalam rumah), lalu Nabi ﷺ bersabda, “Bagaimana pendapat kalian tentang seorang laki-laki yang bernama Abdullah bin Salam?”. Mereka menjawab, “Dia adalah seorang ‘alim kami dan putra dari ‘alim kami dan orang kepercayaan kami dan putra dari orang kepercayaan kami.” Kemudian Rasulullah ﷺ bersabda, “Bagaimana pendapat kalian jika Abdullah bin Salam memeluk Islam?.” Mereka menjawab, “Semoga dia dilindungi Allah dari perbuatan itu.” Beliau mengulangi pertanyaannya kepada mereka, namun mereka tetap menjawab seperti tadi. Lalu Abdullah bin Salam keluar seraya berkata, “Aku bersaksi tidak ada Ilah yang berhak disembah selain Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah.” Maka mereka berkata, “Dia ini orang yang paling buruk di antara kami dan putra dari orang yang buruk.” Mereka terus saja meremehkan Abdullah bin Salam. Lalu Abdullah bin Salam berkata, “Inilah yang aku khawatirkan tadi, wahai Rasulullah.”[3]
Di sini terlihat sangat jelas di hadapan Rasulullah ﷺ bahwa orang-orang Yahudi tahu betul bahwa dia adalah seorang Rasul, namun mereka mengingkarinya, Abdullah bin Salam radhiyallahu ‘anhu memeluk Islam, dan setelah itu sekelompok kecil orang Yahudi mengikuti jejaknya, namun sebagian besar dari mereka tetap tidak beriman.
Sikap Banu Nadhir dan Banu Qurayzha terhadap risalah Muhammad SAW
Huyay bin Akhtab adalah tokoh terkemuka dari kalangan Yahudi Banu Nadhir, dan saudaranya adalah Abu Yasir bin Akhtab, Banu Nadhir adalah suku yang sangat kuat, banyak bangsawan Yahudi di dalamnya, antara lain: Salam bin Abi al-Haqiq, Salam bin Mishkam, dan Ka`b bin al-Asyraf.
Ummul Mu’minin Shafiya binti Huyyay radhiyallahu ‘anha menceritakan kisah kedatangan ayah dan pamannya kepada Rasulullah ﷺ: “Aku adalah anak kesayangan ayahku dan pamanku Abu Yasir, aku tidak pernah bertemu keduanya bersama anak-anak mereka kecuali keduanya akan menggendongku dan meninggalkan anak-anak lainnya. Ketika Rasulullah ﷺ datang ke Madinah dan tinggal sementara waktu di Quba’ pemukiman Bani Amr bin Auf, ayahku Huyay bin Akhtab dan pamanku Abu Yasir bin Akhtab datang mengunjunginya, mereka berjalan dalam kegelapan, yaitu kegelapan di penghujung malam”.
“Mereka tidak kembali sampai matahari terbenam, keduanya berjalan sempoyongan, tampak jelas mereka sangat kelelahan, maka aku berlari ke arah mereka seperti yang biasa aku lakukan, dan demi Allah, tidak ada satu pun dari mereka yang menoleh ke arahku, keduanya diliputi kesedihan“.
“Aku mendengar pamanku Abu Yasir berkata kepada ayahku Huyay bin Akhtab: Apakah itu dia? (Yaitu Apakah Muhammad ﷺ adalah nabi yang kita tunggu-tunggu, yang berita baiknya ada dalam kitab kita?) Huyay bin Akhtab berkata: Ya, demi Allah.”
Abu Yasir berkata: “Apakah kamu mengenalnya dan yakin dialah orangnya?”
Huyay bin Akhtab berkata: “Ya”.
Abu Yasir berkata: “Apa yang ada dalam dirimu mengenai hal itu?”
Huyay bin Akhtab berkata: “Permusuhan dengannya, demi Allah, akan tetap ada selama aku hidup”.[4]
Sikap Huyay bin Akhtab menjelaskan bagaimana orang-orang Yahudi dalam menghadapi agama Islam yang baru ini, dan sikap inilah yang mengakar dalam diri kaum Yahudi hingga saat ini, kecuali orang-orang yang dirahmati Allah سبحانه و تعالى.
Dengan demikian, seluruh Bani Nadhir, tidak ada satu pun dari mereka yang memeluk Islam. Demikian pula Bani Qurayzha, tentunya ini adalah sesuatu yang sangat aneh, tetapi akan kita pahami ketika kita membuka kembali kisah mereka dengan Nabi Musa ‘alaihissalam, kita dapat memahami mengapa mereka bertindak seperti ini dengan Rasul mulia ﷺ.
Perjanjian Nabi dengan orang-orang Yahudi dan Alasannya
Hampir semua orang-orang Yahudi menolak Islam. Oleh karena itu, Rasulullah ﷺ memutuskan untuk membuat perjanjian dengan mereka, dan sangat penting bagi kita untuk memahami keadaan dan hal-hal yang tertuang dalam perjanjian tersebut. Agar kita bisa membandingkan realitas yang kita jalani saat ini dengan apa yang dilakukan oleh Rasulullah ﷺ saat itu.
Rasulullah ﷺ membuat perjanjian ini dan berusaha menjaganya, sehingga apa pun bentuk pelanggaran yang terjadi maka mereka siap menanggung akibatnya. Rasulullah SAW mengusir Bani Qaynuqa, disusul Banu Nadhir, dan setelahnya memerangi Bani Qurayzha, semuanya adalah akibat perjanjian yang mereka langgar, dan dalam diri Rasulullah ﷺ kita memiliki teladan yang baik dalam semua langkah hidupnya.
Mungkin di antara kita ada yang menyimpan kemarahan dan kebencian yang besar terhadap orang-orang Yahudi, karena mereka mengetahui bahwa Rasulullah SAW adalah utusan Allah SWT, namun mereka mengingkarinya. Tapi sebagai seorang Muslim kita sangat menyadari bahwa agama Islam tidak menindas manusia sedikit pun, maka berdirinya negara Islam tidak berarti melanggar hak asasi manusia Ahli Kitab, dan hubungan antara umat Islam dan Ahli Kitab sangat jelas dalam Al-Quran, Allah سبحانه و تعالى berfirman:
لَّا يَنۡهَىٰكُمُ ٱللَّهُ عَنِ ٱلَّذِينَ لَمۡ يُقَٰتِلُوكُمۡ فِي ٱلدِّينِ وَلَمۡ يُخۡرِجُوكُم مِّن دِيَٰرِكُمۡ أَن تَبَرُّوهُمۡ وَتُقۡسِطُوٓاْ إِلَيۡهِمۡۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلۡمُقۡسِطِينَ • إِنَّمَا يَنۡهَىٰكُمُ ٱللَّهُ عَنِ ٱلَّذِينَ قَٰتَلُوكُمۡ فِي ٱلدِّينِ وَأَخۡرَجُوكُم مِّن دِيَٰرِكُمۡ وَظَٰهَرُواْ عَلَىٰٓ إِخۡرَاجِكُمۡ أَن تَوَلَّوۡهُمۡۚ وَمَن يَتَوَلَّهُمۡ فَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلظَّٰلِمُون •
“Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawan orang-orang yang memerangi kamu dalam urusan agama dan mengusir kamu dari kampung halamanmu, serta membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Barang siapa menjadikan mereka sebagai kawan, mereka itulah orang yang zalim • Allah tiada melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu dalam urusan agama dan tidak mengusirmu dari kampung halamanmu. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil”. (Surat Al-Mumtahanah: 8-9)
Islam adalah sebuah lompatan peradaban yang sangat besar, di saat dunia hampir tidak mengenal tentang bagaimana menerima dan menghargai bangsa lain, mengakui dan menghormatinya, 1.400 tahun yang lalu Islam telah melampaui semua itu. Islam diturunkan dengan sesuatu yang lebih besar, lebih tinggi, dan agung dari semua peradaban manusia yang pernah ada. Islam mengajarkan umatnya menebar kebaikan kepada saudaranya, berlaku adil kepada siapa pun, berbelas kasih dan menyayangi sesama.
Kekuasaan di tangan Rasulullah ﷺ dan kekuatan mayoritas umat Islam yang ada di Madinah bukanlah alat untuk memaksa Ahli Kitab memeluk Islam, padahal Rasulullah ﷺ sangat menginginkan hal itu, dan sangat bersedih jika seorang Yahudi atau seorang Nasrani meninggal dalam agama selain Islam, namun beliau ﷺ tidak bisa memaksakannya kepada mereka, sebab hal itu telah diatur dalam Islam, Allah سبحانه و تعالى berfirman:
لا إكراه في الدين
“Tidak ada paksaan untuk (menganut) agama (Islam)”. (Al-Baqarah: 256)
Rasulullah SAW memutuskan untuk membuat perjanjian dengan orang-orang Yahudi, dan mengetahui bahwa peluang untuk berdakwah masih ada, setidaknya belum ada catatan permusuhan yang berarti antara Umat Islam dan Yahudi pada saat itu. Ya, mereka memang dikenal pendusta, tetapi semoga Allah membuka hati mereka, dan Rasulullah ﷺ tidak pernah menyerah untuk berdakwah kepada siapa pun.
Klausul perjanjian Nabi ﷺ dengan orang-orang Yahudi
Apa saja klausul perjanjian Rasulullah ﷺ dengan mereka?
1) Bangsa Yahudi adalah suatu umat, demikian halnya dengan Umat Islam, mereka dengan agamanya, dan Umat Islam dengan agamanya, dalam perjanjian ini, semua Yahudi yang berada di Madinah ditentukan berdasarkan nama sukunya. yaitu: Yahudi Banu Najjaar, Yahudi Bani Haaritsah, Yahudi Bani Saa`idah, Yahudi Bani Auf… dan seterusnya.
2) Orang-orang Yahudi harus menafkahi diri mereka sendiri dan orang-orang Islam harus menafkahi diri mereka sendiri, Artinya: tanggung jawab keuangan mereka sepenuhnya dilindungi oleh pemimpin negara pada saat itu, yaitu Rasulullah ﷺ, mereka mempunyai kebebasan untuk memiliki harta benda selama mereka masih berada dalam perjanjian tersebut dengan umat Islam di dalam Negara Islam.
Di sisi lain, terdapat perbedaan antara umat Islam dan mereka. Perjanjian ini tidak berarti bahwa segala sesuatunya akan sama, bahwa perekonomian Islam akan bercampur dengan perekonomian Yahudi. Tentu Tidak, umat Islam tidak ada hubungannya dengan kehidupan perekonomian mereka. Rasulullah ﷺ, sengaja memasukkan klausul ini dalam perjanjian, sebab perekonomian pada saat itu sebagian besar berada di tangan orang-orang Yahudi.
3) Dalam keadaan perang, jika terjadi perang atau pengepungan di Madinah, setiap orang berdasarkan hak kewarganegaraannya wajib membela Madinah, artinya: Selama umat Islam dan Yahudi tinggal di satu negara, maka setiap mereka wajib membela negaranya jika terjadi invasi dari luar.
4) Orang-orang Yahudi bersama orang-orang mukmin menafkahkan harta mereka selama terjadi peperangan, yaitu jika terjadi perang maka biaya dan segala beban yang timbul ditanggung oleh kedua belah pihak untuk membela negara, dan di antara keduanya saling menasihati dalam kebaikan dan bukan dosa, dan membela orang-orang yang tertindas, dan tetangga itu ibarat satu jiwa tidak dirugikan dan tidak berdosa. Semua ini adalah hal-hal yang menjaga status orang-orang Yahudi dalam negara yang dipimpin oleh Nabi Muhammad ﷺ.
5) Jika kaum Quraisy menyerang Madinah, maka kaum Yahudi harus membantu kaum Muslimin dalam peperangannya, dan kita akan melihat pelanggaran kaum Yahudi Bani Qurayzha dalam klausul ini, dan inilah latar belakang kemarahan Rasulullah ﷺ terhadap Bani Qurayzha, ketika mereka membantu kaum Quraisy melawan kaum muslimin pada perang Ahzāb.
6) Tidak boleh ada satu pun orang Yahudi yang keluar kecuali dengan izin Rasulullah ﷺ. Ini seperti sistem imigrasi saat ini, tidak boleh meninggalkan negara kecuali dengan izin pihak yang berwenang, maka suku-suku Yahudi di Madinah tidak mempunyai hak untuk berperang atau bepergian atau untuk urusan lain apa pun kecuali dengan izin Rasulullah ﷺ, karena mereka mungkin saja akan menyulut api permusuhan di luar Madinah, dan hal itu akan mendatangkan malapetaka bagi Madinah, termasuk kaum Yahudi dan Muslim di dalamnya.
7) Klausul terpenting dari perjanjian ini adalah sabda Nabi ﷺ: “Dan kejadian atau pertengkaran apa pun yang terjadi antara orang-orang yang membuat perjanjian ini yang khawatir akan kerusakannya, akan dikembalikan kepada Allah سبحانه و تعالى dan kepada Muhammad ﷺ”. Jika terjadi perselisihan antara seorang Muslim dengan saudaranya, atau terjadi perselisihan antara Muslim dan Yahudi, maka keputusan dikembalikan kepada Allah سبحانه و تعالى dan Rasulullah ﷺ.
Manfaat yang kita petik dari perjanjian Nabi ﷺ dengan kaum Yahudi
Dari perjanjian ini, umat Islam memperoleh perlindungan dari kejahatan orang-orang Yahudi, dan mereka bisa saling tolong-menolong dalam kebaikan, serta pengakuan oleh orang-orang Yahudi atas munculnya negara Islam.
Dalam perjanjian ini, kekuatan Yahudi tidak akan dapat membantu kaum Quraisy, dan ini merupakan keberhasilan yang sangat besar, karena Rasulullah ﷺ mampu memisahkan dua kekuatan musuh yang sangat berbahaya, dan pelanggaran apa pun yang terjadi setelah itu akan ditanggung oleh orang-orang Yahudi.
Referensi:
[1] . Lihat: Shahih Bukhari (4132), Shahih Muslim (818).
[2] . Lihat: Shahih Bukhari (3145), Shahih Muslim (1910).
[3] . Lihat: Shahih Bukhari (3645).
[4] . Lihat: Sirah Ibnu Hisyam (1\517), ‘Uyunul Atsar Ibnu Sayyidinnas (1\277).
Penulis: Ust. Imran Bukhari Ibrahim, Lc., MH (Dai Wahdah Islamiyah; Mahasiswa S3 King Saud University)
Sumber: Markaz Inayah