Kolaborasi dalam Dakwah & Tarbiyah

ARTIKEL – Dahulu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mulai berpuasa Arafah sejak tahun ke-2 H. Lalu beliau baru disempatkan Allah untuk berhaji pada tahun ke-10 H.

Artinya, sejak tahun ke-2 H hingga tahun ke-8 H misalnya, Rasulullah dan para sahabatnya berpuasa Arafah TANPA BERGANTUNG pada informasi: “Kapan wukuf di Arafah?”. Mengapa? Karena informasi tentang waktu wukuf tidak mungkin bisa diketahui secara real time. Harus menunggu sekian lama, sesuai jarak perjalanan Mekkah-Madinah ketika itu. Waktu wukuf baru bisa diketahui real time saat itu juga saat Rasulullah berhaji pada tahun ke-10 H.

Jadi, kalau Puasa Arafah harus mengikuti wukuf di Arafah, lalu bagaimana dengan Puasa Arafah Rasulullah dan para sahabat sejak tahun ke-2 H sampai tahun ke-8 H?

Itu pula yang terjadi di era para Sahabat, para Tabi’in, dan para ulama salaf. Tidak pernah tercatat dalam sejarah, bahwa mereka berusaha mencari tahu dan kabar soal “kapan wukuf di Arafah”, untuk melaksanakan Puasa Arafah.

Jika demikian, apakah mereka semua salah?

Apakah mereka semua melanggar Sunnah Nabi?

Dan jika kita pada hari ini meneladani Puasa Arafah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan para Sahabat, serta ulama Salaf saat itu, yang mengabaikan, bahkan tidak berusaha mencari tahu informasi waktu wukuf di Arafah; apakah itu sebuah kesalahan juga?

Atau justru itulah yang sesuai dengan Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam?

***

Dahulu, para orangtua kita untuk berhaji harus menempuh perjalanan laut setidaknya 3 bulan lamanya pulang-pergi. Kaum muslimin di Tanah Air baru bisa mengakses informasi “kapan wukuf di Arafah” setelah para jamaah haji pulang ke tanah air.

Artinya: itu sekitar 1 bulan setelah jamaah haji wukuf di Arafah. Jadi, bagaimana status Puasa Arafah kaum muslimin Tanah Air ketika itu yang tidak tahu-menahu soal “waktu wukuf di Arafah”?

Padahal zaman itu juga “Khilafah Utsmani” masih eksis, bukan?

Apakah Khalifah waktu itu dan semua ulamanya juga memfatwakan “Puasa Arafah harus ikut wukuf di Arafah”?

Apakah Khalifah era Utsmani juga berpandangan “ru’yah global” (Ittihad al-Mathali’)?

Jika jawabannya adalah: “iya”, maka bagaimana pihak Khilafah menyampaikan informasi “awal Ramadhan, awal Syawal dan awal Dzulhijjah” ke seantero kawasan Islam?

Apalagi jika benar informasi sejarah bahwa beberapa kesultanan Islam Nusantara telah terafiliasi dengan Khilafah Utsmani; bagaimana-atau tepatnya berapa lama-mereka akhirnya mengakses informasi bahwa “Khalifah telah mengumumkan 1 Ramadhan, 1 Syawal dan 1 Dzulhijjah”?

Yang pasti, madzhab fikih Khilafah Utsmani adalah Madzhab Hanafi. Dalam berbagai literatur Fikih Madzhab Hanafi, justru pandangan mereka mewakili pandangan “ru’yah lokal” (Ikhtilaf al-Mathali’). Silahkan lihat pandangan itu-misalnya-dalam Hasyiyah Ibn ‘Abidin (2/393), al-Masbuk ala Minhah al-Suluk (1/132).

Karena itu, pandangan “ru’yah lokal” (Ikhtilaf al-Mathali’) sebenarnya adalah pandangan yang paling realistis untuk diamalkan, dan juga pandangan yang paling kuat akar historisnya dalam sejarah kaum muslimin sejak zaman Nabi hingga zaman kekhilafahan sesudahnya, termasuk Khilafah Utsmani.

Coba Anda bayangkan, jika pusat Khilafah ada di Damaskus, misalnya. Bagaimana informasi 1 Ramadhan atau 1 Dzulhijjah akan disampaikan ke kawasan Hijaz, Mesir, Andalusia hingga Nusantara secara real time saat itu?

Al-Imam al-Subki menuliskan pernyataan penting tentang ini:

لأن عمر بن الخطاب وسائر الخلفاء الراشدين لم ينقل أنهم كانوا إذا رأوا الهلال يكتبون إلى الآفاق. ولو كان لازماً لهم، لكتبوا إليهم لعنايتهم بأمور الدين.

Karena tidak pernah dinukil bahwa Umar ibn al-Khaththab dan seluruh Khulafa’urrasyidun jika telah melihat hilal, mereka lalu menulis (pesan) ke seluruh penjuru (bahwa seluruh wilayah Islam harus berpuasa atau berlebaran di hari yang sama, karena telah terlihat hilal di wilayah Khalifah-penj). Seandainya itu adalah sebuah keharusan, mereka pasti akan segera menulis (pesan seperti itu), karena perhatian mereka terhadap urusan-urusan keagamaan.” (Lih: al-‘Ilm al-Mansyur fi Itsbat al-Syuhur, hal. 15)

***

Penjelasan al-Imam al-Subki di atas juga sekaligus menjawab syubhat sebagian orang, bahwa dulu memang bisa saja masing-masing negara berpuasa dan berlebaran sendiri, tapi sekarang teknologi informasi sudah memungkinkan kita untuk mengetahui waktunya.

Jawabannya adalah jika “mengetahui tanggal awal Ramadhan, Syawal dan Dzulhijjah” adalah informasi yang wajib disampaikan, disebarkan dan diketahui di seluruh kawasan wilayah Islam, maka sudah pasti Umar bin al-Khaththab dan para khalifah lainnya akan segera mengirim surat, tanpa peduli: apakah surat pemberitahuan itu sampai tepat waktu atau terlambat.

Kenapa? Karena itu sebuah kewajiban. Harus ditunaikan.

Tapi ketika mereka tidak bersikeras dan bersikukuh untuk mengirimkannya, itu menunjukkan bahwa informasi itu tidak wajib disebarkan, karena masing-masing kawasan dan wilayah memiliki ru’yahnya sendiri. Tidak peduli seberapa canggih teknologi komunikasi yang Anda miliki, karena faktanya wilayah dan waktu kita berbeda. Wallahu a’lam.

***

Lalu bagaimana dengan hadits “Amir Mekkah”?

Baiklah, jawabannya adalah bahwa hadits tersebut memang menunjukkan bahwa penentuan pelaksanaan prosesi haji harus mengikuti “ru’yah Amir Mekkah” (jadi bukan hisab, maka yang menggunakan hisab tidak layak menjadikan hadits ini sebagai pembenaran, bukan?).

Tapi, hadits “Amir Mekkah” inibenar-benar spesifik untuk pelaksanaan prosesi manasik haji, karena memang semuanya dilakukan di kawasan Mekkah.

Tidak ada sedikitpun pernyataan dalam hadits itu bahwa “ketetapan Amir Mekkah” itu berlaku dan mengikat kawasan-kawasan lain negeri kaum muslimin. Ketetapan “Amir Mekkah” hanya mengikat penduduk Mekkah, karena-sekali lagi-ritual manasik haji berlangsung di sana, bukan di Nusantara!

Karena itu, jika direnungkan, hadits “Amir Mekkah” ini justru menguatkan bahwa penentuan awal bulan hijriyah itu tidak bersifat global dan menyeluruh pada semua kawasan Islam.

Kenapa?

Coba renungkan baik-baik, jika hadits ini dibaca dengan kacamata “Khilafah” yang berpusat di luar Mekkah, maka hadits “Amir Mekkah” ini sungguh relevan.

Bayangkan, jika ibukota Khilafah berada di Damaskus, atau Bagdad, atau Istambul, lalu hilal Dzulhijjah di sana terlihat lebih dulu, atau lebih lambat dari hilal di Mekkah; maka “ketetapan awal bulan Dzulhijjah” siapa yang akan diikuti untuk melakukan wukuf-yang notabene dilakukan di kawasan Mekkah-?

Apakah Mekkah harus mengikuti penetapan awal Dzulhijjah di ibukota Khilafah?

Atau Mekkah mengikuti hilal dan menetapkan awal Dzulhijjahnya sendiri?

Nah, disinilah hadits “Amir Mekkah” ini harus didudukkan, dan memang sudah pada tempatnya. Yaitu bahwa:

  1. Karena prosesi wukuf itu dilaksanakan di kawasan Mekkah, maka keputusan “Amir Mekkah” yang harus dijadikan patokan, bukan keputusan “Amir” di luar Mekkah, bahkan meskipun itu Khalifah yang berdomisili di luar Mekkah.
  2. Karena itu, sekali lagi, hadits “Amir Mekkah” ini malah semakin mengukuhkan “ru’yah lokal” (Ikhtilaf al-Mathali’).
  3. Kaum muslimin di luar kawasan Mekkah tidak diikat dan diharuskan untuk menjadikan “wukuf di Arafah” sebagai patokan dalam berpuasa atau berlebaran.

***

Pada akhirnya…

Persatuan global kaum muslimin itu penting, bahkan wajib. Bermimpi tentang itu jelas tidak salah, bahkan juga wajib. Tapi harus tetap realistis. Bukankah Islam adalah agama yang realistis.

Nah, terlepas dari semua perbedaan pendapat tentang “ru’yah global” atau “ru’yah lokal” itu-bahkan juga tentang hisab-, jelas sekali spirit persatuan dalam ibadah-ibadah kolosal seperti Ramadhan dan 2 Hari Raya itu harus menjadi perhatian.

Jika kita sulit untuk “bersatu” secara global atau internasional dalam momentum-momentum tersebut, maka setidaknya bersatulah kita secara lokal di negeri dan tanah air kita masing-masing. Inilah sikap bijak yang harus dikedepankan.

Karena itu, para ulama kontemporer-seperti Syekh Yusuf al-Qaradhawi dan Syekh Husamuddin ‘Afanah dari Palestina-yang juga lebih condong pada pandangan “ru’yah global” dan ingin menyatukan seluruh kaum muslimin dalam “1 Ramadhan, 1 Syawal dan 1 Dzulhijjah” yang sama, mewanti-wanti hal yang sama:

“Jika tidak memungkinkan kita bersatu secara global,

setidaknya bersatulah secara lokal dan regional!”

Syekh Yusuf al-Qaradhawi misalnya-yang cenderung pada hisab dan penyatuan global-, mengatakan:

أننا إذا لم نصل إلى الوحدة الكلية العامة بين أقطار المسلمين في أنحاء العالم،  فعلى الأقل يجب أن نحرص على الوحدة الجزئية الخاصة بين أبناء الإسلام في القطر الواحد،  فلا يجوز أن نقبل بأن ينقسم أبناء البلد الواحد أو المدينة الواحدة فيصوم فريق اليوم على أنه من رمضان ويفطر آخرون على أنه من شعبان وفي آخر الشهر تصوم جماعة وتعيّد أخرى فهذا وضع غير مقبول

Bahwa meskipun kita belum sampai pada persatuan yang bersifat umum dan menyeluruh pada negeri-negeri kaum muslimin di penjuru dunia, namun setidak-tidaknya kita harus mengupayakan persatuan yang bersifat terbatas dan regional di antara kaum muslimin (yang ada) dalam satu negara. Sehingga, kita tidak bisa menerima (kaum muslimin) dalam 1 negara atau 1 kota kemudian terbagi; ada yang berpuasa hari ini karena meyakini sudah Ramadhan, dan ada yang belum berpuasa karena meyakini masih bulan Sya’ban. Lalu di akhir bulan, ada kelompok yang masih berpuasa, tapi ada pula yang sudah berlebaran. Ini adalah kondisi yang tidak bisa diterima.”

(Lih: Artikel beliau berjudul al-Hisab al-Falaky wa Itsbat Awa’il al-Syahr, dalam web resmi beliau: https://www.al-qaradawi.net/ diakses 8 Juli 2022)

***

Maka disinilah letak pengamalan kaidah fikih yang biasa diangkat para ulama:

حكم الحاكم يرفع الخلاف

Ketetapan hakim (otoritas penguasa atau pihak yang berwenang) menghapuskan semua perbedaan (pendapat).”

“Menghapuskan” artinya membuat perbedaan pendapat itu tidak lagi menjadi relevan. Semua harus tunduk pada keputusan itu, selama bukan bermaksiat pada Allah. Semua harus tunduk pada ketetapan itu, apalagi jika bertujuan yang ma’ruf.

Nah, apakah keputusan untuk menyeragamkan Puasa dan Lebaran dalam satu negara itu dianggap sebagai maksiat kepada Allah?

Atau justru itulah keputusan yang ma’ruf (baik); karena akhirnya dapat menyatukan ayah dan anak, atau suami dan istri, atau atasan dan bawahan, bahkan menyatukan antara tetangga dan jamaah mesjid yang tadinya berbeda pendapat soal “kapan puasa Ramadhan?” atau “kapan puasa Arafah?”.

Mereka akhirnya bisa berpuasa dan berlebaran di waktu yang sama, di negeri yang sama, tanpa direcoki dan dibingungkan dengan pertanyaan: “Kapan Saudi berpuasa dan berlebaran?”

Wallahu a’lam bi al-shawab.

Penulis: Ust. Muhammad Ihsan Zainuddin, Lc., M.Si., Ph.D (Dosen STIBA Makassar)

Media Partners Dakwah

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here