KENDARI — Ratusan masyarakat dari berbagai kalangan memadati Lapangan Futsal 2 Kampus Baru Universitas Halu Oleo (UHO) sejak pagi buta, Jumat 6 Juni 2025, untuk menunaikan Salat Idul Adha 1446 Hijriah. Bertindak sebagai khatib, Ketua Dewan Pimpinan Wilayah Wahdah Islamiyah Sulawesi Tenggara, Ustaz Muh. Ikhwan Kapai, menyampaikan khutbah yang menggugah hati bertajuk “Meneladani Pengorbanan Tanpa Batas Khalilullah dalam Menghadapi Krisis Peradaban.”
Dalam khutbahnya yang sarat makna dan kritik sosial yang konstruktif, Ustaz Ikhwan mengajak jamaah untuk menjadikan kisah pengorbanan Nabi Ibrahim dan Ismail bukan sekadar sejarah seremonial, tapi sebagai inspirasi nyata di tengah krisis multidimensi yang melanda dunia saat ini.
“Idul Adha bukan hanya tentang menyembelih hewan kurban. Ia adalah panggilan untuk menyembelih ego, membebaskan diri dari ikatan dunia yang menghalangi ketundukan kita kepada Allah dan kepedulian terhadap sesama,” tegasnya.
Dunia dalam Darurat Nurani
Dalam suasana takbir yang syahdu, khatib membuka mata jamaah tentang luka-luka dunia yang tak terlihat dari balik layar media sosial dan kemewahan digital. Ia menyinggung tragedi kemanusiaan yang menimpa Gaza, Sudan, Yaman, dan negeri-negeri lain yang terjerat dalam konflik dan ketidakadilan.
“Saat kita menyantap daging kurban, ada anak-anak di Gaza yang menyantap kepedihan. Mereka tidak kekurangan semangat, mereka kekurangan perhatian kita,” ujar beliau lirih.
Tidak hanya itu, sang khatib juga mengangkat kondisi dalam negeri. Di tengah gemerlap pembangunan, katanya, bangsa ini menghadapi krisis moral yang mengakar: korupsi, degradasi nilai, dan ketimpangan sosial yang melukai keadilan.
Ibrahim: Simbol Totalitas Iman dan Keberanian
Membumikan kisah Nabi Ibrahim, Ustaz Ikhwan menekankan bahwa esensi pengorbanan bukan hanya terletak pada harta, tetapi keberanian menempatkan kehendak Allah di atas kepentingan pribadi.
“Ibrahim rela dibakar, bukan karena ia gila, tapi karena ia waras iman. Dan langit pun tak tinggal diam. Api pun tunduk pada perintah Tuhan.”
Keteladanan itu, menurutnya, sangat relevan di era ini, di mana banyak orang lebih takut kehilangan kenyamanan ketimbang kehilangan prinsip.
Keluarga, Benteng Terakhir Peradaban
Sorotan tajam juga disampaikan pada krisis pendidikan dalam keluarga. Ia mencontohkan Ismail yang tenang saat mendengar perintah untuk disembelih, sebagai hasil dari pendidikan tauhid yang tertanam kuat sejak dini.
“Hari ini banyak rumah mewah tapi kosong dari iman. Anak-anak mengenal gawai lebih dulu daripada mengenal Allah. Di sinilah akar krisis itu tumbuh,” ujarnya penuh harap.
Beliau menyerukan pentingnya menjadikan rumah sebagai madrasah pertama dan orang tua sebagai guru kehidupan yang menanamkan nilai iman, akhlak, dan keberanian moral.
Pengorbanan Kecil, Dampak Besar
Di akhir khutbahnya, Ustaz Ikhwan mendorong umat untuk berani melakukan pengorbanan nyata, sekecil apapun. Ia menyebut bahwa pengorbanan Ibrahim mengubah sejarah bukan karena besar secara fisik, tapi karena ketulusan dan keberanian iman.
“Jangan remehkan sedekah kecilmu, doa lirihmu, atau keteguhanmu menjaga integritas. Karena jika Allah ridha, amal itu bisa mengguncang langit.”
Dari Kampus, Untuk Peradaban
Acara ini bukan hanya menjadi agenda tahunan, tapi juga simbol sinergi antara dakwah kampus dan masyarakat. Dihadiri oleh mahasiswa, dosen, pengusaha, hingga ibu rumah tangga, Salat Idul Adha ini menjadi ruang bersama untuk merenung, merajut nilai, dan memperkuat tekad membangun peradaban yang lebih beradab.
Di penghujung khutbah, beliau menutup dengan doa yang menyayat hati—mendoakan para syuhada, pemimpin bangsa, generasi muda, dan kaum tertindas di seluruh penjuru dunia.
“Jika bukan untuk kita, maka untuk anak-anak kita. Jika bukan untuk dunia kita, maka untuk akhirat kita,” pungkasnya dalam doa.
Laporan: Humas Wahdah Sultra
Editor: MAIM