Kolaborasi dalam Dakwah & Tarbiyah

ARTIKEL – Makanan adalah salah satu nikmat terbesar yang Allah Ta‘ala karuniakan kepada manusia. Melalui makanan, Allah memberi kita kehidupan, kekuatan, dan kesehatan. Tidaklah manusia dapat bertahan tanpa makanan, dan tidaklah manusia bisa merasakan lezatnya kehidupan dunia tanpa rezeki berupa santapan yang Allah hadirkan dari bumi dan laut.

Karena begitu besar nilainya, Islam mengajarkan adab yang mulia dalam menyikapi makanan. Di antara adab itu adalah larangan keras untuk mencela makanan. Rasulullah ﷺ, yang akhlaknya adalah Al-Qur’an, menjadi teladan yang sempurna dalam hal ini. Beliau sama sekali tidak pernah mencela makanan sedikit pun sepanjang hidupnya.

Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan sebuah hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim, bahwa beliau berkata:

مَا عَابَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ طَعَامًا قَطُّ، إِنِ اشْتَهَاهُ أَكَلَهُ، وَإِنْ كَرِهَهُ تَرَكَهُ

“Rasulullah ﷺ tidak pernah mencela makanan sedikit pun. Apabila beliau menyukainya, beliau memakannya; jika beliau tidak menyukainya, beliau meninggalkannya.” (HR. al-Bukhari: 5409; Muslim: 2064)

Hadis ini diriwayatkan dengan sanad yang sahih dan disepakati oleh dua imam besar, al-Bukhari dan Muslim.

Imam an-Nawawi rahimahullah menjelaskan bahwa hadis ini merupakan dalil yang jelas tentang kesempurnaan akhlak Nabi ﷺ. Beliau tidak pernah mengomentari makanan dengan celaan, karena sejatinya setiap makanan adalah nikmat Allah, meskipun mungkin rasanya tidak sesuai dengan selera seseorang.

Apabila makanan itu disukai, beliau akan menyantapnya dengan penuh syukur. Namun bila tidak, beliau sekadar meninggalkannya tanpa ada satu kata cela pun yang keluar dari lisannya.

Sikap ini bukanlah hal kecil. Karena mencela makanan pada hakikatnya bisa berarti mencela rezeki yang Allah turunkan. Padahal Allah Ta‘ala berfirman:

فَكُلُوا مِمَّا رَزَقَكُمُ اللَّهُ حَلَالًا طَيِّبًا وَاشْكُرُوا نِعْمَتَ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ

“Maka makanlah dari rezeki yang halal lagi baik yang telah Allah karuniakan kepada kalian, dan bersyukurlah atas nikmat Allah jika benar-benar hanya kepada-Nya kalian menyembah.” (QS. An-Nahl: 114)

Ayat ini menegaskan bahwa setiap makanan yang halal adalah nikmat yang patut disyukuri, bukan dicela. Menyebut makanan dengan buruk berarti melupakan hakikat bahwa ia adalah pemberian Allah. Lebih dari itu, mencela makanan juga berpotensi menyakiti hati orang yang telah menyiapkannya.

Betapa banyak seorang istri yang bersusah payah memasak untuk suaminya, atau seorang ibu yang menyiapkan santapan untuk anak-anaknya. Ketika makanan itu dicela, yang terluka bukan hanya hati sang koki, tapi juga hati keluarga. Maka, adab yang diajarkan Nabi ﷺ adalah jika tidak suka, tinggalkan dengan tenang; bila suka, makanlah dengan syukur.

Meneladani Rasulullah dalam Menghargai Makanan

Kisah lain yang menggambarkan sikap mulia Nabi ﷺ dalam menghadapi makanan adalah riwayat dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu.

Suatu ketika Rasulullah ﷺ bertanya kepada keluarganya tentang lauk. Mereka menjawab, “Kami tidak punya lauk apa-apa kecuali cuka.” Maka beliau pun meminta cuka itu dihidangkan. Lalu beliau makan bersama keluarganya seraya bersabda:

نِعْمَ الْأُدُمُ الْخَلُّ، نِعْمَ الْأُدُمُ الْخَلُّ

“Sebaik-baik lauk adalah cuka, sebaik-baik lauk adalah cuka.” (HR. Muslim: 2052)

Perhatikanlah bagaimana Rasulullah ﷺ memuji makanan yang sangat sederhana. Cuka, yang bagi sebagian orang dianggap makanan paling biasa bahkan mungkin dipandang remeh, justru beliau sanjung dengan kalimat pujian.

Imam Nawawi menjelaskan bahwa pujian ini merupakan bentuk syukur dan penghargaan terhadap apa yang Allah hadirkan. Sebagian ulama menegaskan bahwa cuka memang memiliki manfaat bagi tubuh, namun yang lebih penting dari itu adalah pelajaran besar bawah jangan pernah meremehkan makanan apa pun, betapapun sederhananya.

Dari sisi penafsiran akhlak, ucapan Nabi ini juga dimaksudkan untuk menjaga perasaan keluarganya. Mereka mungkin malu karena tidak mampu menyediakan lauk yang lebih baik. Namun Nabi ﷺ dengan bijak menjadikan keadaan itu sebagai momen syukur, bukan celaan.

Ibnu Baththol dalam Syarh Shahih al-Bukhari menekankan bahwa hadis-hadis ini menunjukkan adab luhur dalam menyikapi makanan. Menurut beliau, mencela makanan termasuk bentuk buruk akhlak, karena seakan menolak nikmat Allah.

Beliau juga menambahkan bahwa tidak semua komentar terhadap makanan termasuk celaan. Misalnya, Nabi ﷺ pernah menyampaikan bahwa beliau tidak biasa memakan daging dhab (biawak padang pasir).

Itu bukan celaan, melainkan penjelasan bahwa beliau tidak terbiasa dengan makanan tersebut. Jadi perbedaannya jelas yaitu tidak suka karena selera berbeda bukanlah celaan, selama tidak disertai ucapan merendahkan makanan tersebut.

Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin dalam Syarh Riyadhus Shalihin menjelaskan bahwa larangan mencela makanan sejalan dengan prinsip besar syukur. Allah menurunkan makanan sebagai nikmat untuk dimanfaatkan manusia. Maka ketika makanan dihidangkan, kewajiban kita adalah menghargai.

Beliau menekankan bahwa jika kita tidak suka, diam dan tidak memakannya lebih baik. Namun jika kita ingin memberi masukan, harus dilakukan di waktu dan cara yang tepat, tanpa merendahkan atau melukai hati orang yang menyiapkannya.

Menurut beliau, adab makan yang diajarkan Nabi ﷺ adalah bentuk pendidikan akhlak yang nyata dalam kehidupan sehari-hari.

Dari penjelasan para ulama ini, kita memahami bahwa larangan mencela makanan bukan sekadar persoalan sopan santun, melainkan bagian dari ibadah.

Lisan yang terbiasa memuji makanan, meski sederhana, adalah lisan yang terbiasa bersyukur. Sebaliknya, lisan yang ringan mencela makanan, adalah lisan yang lalai dari nikmat Allah.

Bahkan lebih jauh, kebiasaan mencela makanan bisa menumbuhkan sifat sombong dan kufur nikmat. Seseorang yang tidak pernah puas dengan makanan yang ada, selalu menuntut yang lebih lezat, lebih mewah, lebih sesuai selera, akan sulit untuk menjadi hamba yang bersyukur.

Betapa indahnya akhlak Rasulullah ﷺ. Beliau tidak hanya mengajarkan syukur dengan kata-kata, tapi benar-benar menghidupkannya dalam praktik sehari-hari. Kala disodori makanan lezat, beliau menikmatinya tanpa berlebihan.

Kala yang ada hanya cuka, beliau tetap makan dan bahkan memujinya. Kala tidak suka, beliau tinggalkan tanpa cela. Semua itu memberi pelajaran besar kepada kita bahwa syukur tidak diukur dari apa yang kita makan, tapi dari bagaimana hati kita menghargai rezeki Allah.

Hari ini, di tengah zaman modern, kita sering kali lupa dengan adab mulia ini. Mulut kita ringan sekali mengomentari makanan “Terlalu asin,” “Kurang enak,” “Tidak sedap,” bahkan terkadang dengan bahasa kasar.

Padahal, di balik sepiring makanan, ada tangan seorang ibu yang berpeluh, ada cinta seorang istri yang penuh kesabaran, atau ada jerih payah seorang ayah yang bekerja mencari nafkah.

Mencela makanan berarti melukai hati orang-orang yang kita cintai. Maka, betapa mulia jika kita berusaha meneladani Rasulullah ﷺ: jika suka makanlah dengan syukur, jika tidak suka tinggalkan tanpa cela.

Kisah cuka memberi pelajaran abadi, bahwa kesederhanaan bukan halangan untuk bersyukur. Bahkan dalam makanan yang paling sederhana sekalipun, ada kebaikan yang pantas dipuji. Rasulullah ﷺ mencontohkan bahwa dengan hati yang lapang dan lisan yang penuh syukur, setiap makanan bisa terasa nikmat.

Semoga Allah Ta‘ala menjadikan kita hamba-hamba yang selalu bersyukur, menjaga lisan dari celaan, serta menghiasi meja makan kita dengan akhlak Nabi yang agung. Dengan begitu, setiap suapan yang masuk ke mulut kita tidak hanya menjadi pengisi perut, tetapi juga bernilai ibadah di sisi Allah Subhanahu wa Ta‘ala.

Sumber: wahdah.or.id

Media Partners Dakwah

Artikulli paraprakMenua Bersama dalam Cinta dan Perjuangan, LP2KS Wahdah Islamiyah Kolut Gelar Taklim Sakinah
Artikulli tjetërPerkuat Visi Misi Wujudkan Kolaka Utara Beradab, DPD Wahdah Islamiyah Kolut Gelar MPP II 2025

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini