Pendahuluan
Ada satu pertanyaan besar yang sering muncul ketika kita berbicara tentang takdir dan kehendak Allah:
“Kalau semua yang kita lakukan sudah dikehendaki oleh Allah, lalu kenapa kita masih disalahkan ketika berbuat maksiat? Bukankah kalau kita tidak taat itu juga karena kehendak-Nya? Mengapa Allah menghukum perbuatan yang sebenarnya Dia sendiri kehendaki?”
Pertanyaan seperti ini wajar muncul, karena di satu sisi kita meyakini semua terjadi atas izin Allah, tapi di sisi lain kita juga tahu bahwa manusia diberi pilihan dan akan dimintai pertanggungjawaban.
Untuk menjawab kebingungan ini, mari kita lihat penjelasan jernih dari Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah dalam Syarah Kitab At-Tauhid, pada pembahasan tentang pembagian kehendak Allah dan hubungannya dengan cinta serta hikmah-Nya.
1. Dua Jenis Kehendak Allah
Menurut Syaikh Al-‘Utsaimin, kehendak Allah terbagi menjadi dua:
- Kehendak Kauniyyah (Irādah Kauniyyah)
Yaitu kehendak Allah yang berkaitan dengan segala sesuatu yang terjadi di alam semesta. Semua yang terjadi, baik disukai maupun tidak disukai, terjadi karena Allah menghendakinya. - Kehendak Syar‘iyyah (Irādah Syar‘iyyah)
Yaitu kehendak Allah yang berkaitan dengan apa yang Allah perintahkan dan cintai, seperti iman, ibadah, dan amal saleh.
2. Hubungan Antara Kehendak Kauniyyah dan Masyi’ah
Kehendak kauniyyah ini memiliki arti yang sama dengan masyi’ah, yaitu kehendak Allah dalam bentuk takdir.
Allah berfirman:
“Kalau Allah menghendaki, niscaya mereka tidak akan saling berperang. Tetapi Allah melakukan apa yang Dia kehendaki.” (QS. Al-Baqarah: 253)
Artinya, jika Allah menghendaki sesuatu secara kauniyyah, maka pasti terjadi.
Sederhananya, kalau Allah sudah menakdirkan sesuatu, maka itu pasti akan terwujud.
3. Apa Saja yang Termasuk Kehendak Kauniyyah
Kehendak kauniyyah mencakup semua hal yang terjadi di alam ini — baik yang Allah cintai maupun yang Allah benci.
Jadi, kalau ada yang bertanya,
“Apakah Allah menghendaki maksiat?”
Jawabannya:
- Dari sisi takdir (kauniyyah) → iya, karena maksiat itu terjadi.
- Tapi dari sisi syariat (syar‘iyyah) → tidak, karena Allah tidak mencintainya.
Allah membiarkan maksiat terjadi bukan karena Dia menyukainya, tapi karena ada hikmah besar di baliknya.
Misalnya:
Kalau tidak ada kekufuran, bagaimana ada jihad dan dakwah?
Kalau tidak ada maksiat, bagaimana ada amar ma’ruf nahi munkar?
Kalau semua orang baik, dari mana datangnya ujian keimanan dan pahala kesabaran?
Dengan kata lain, sesuatu bisa dibenci dari satu sisi, tapi tetap dikehendaki dari sisi lain karena ada tujuan yang lebih tinggi.
4. Kehendak Syar‘iyyah: Kehendak yang Allah Cintai
Sementara kehendak syar‘iyyah adalah kehendak Allah yang terkait dengan hal-hal yang Dia cintai dan perintahkan.
Contohnya:
- Allah mencintai iman, amal saleh, dan ketaatan.
- Allah membenci kekufuran dan kemaksiatan.
Namun tidak semua yang Allah cintai pasti terjadi.
Ada orang yang beriman, tapi ada juga yang kafir.
Artinya, kehendak syar‘iyyah tidak selalu terwujud, karena manusia diberi kebebasan memilih.
5. Mengapa Allah Menghendaki Sesuatu yang Dia Benci
Sebagian orang heran,
“Kalau Allah tidak mencintai dosa, kenapa Dia tetap membiarkan dosa itu terjadi?”
Jawabannya: karena Allah Maha Bijaksana.
Allah bisa membenci sesuatu, tapi tetap menakdirkannya demi tujuan yang lebih baik.
Misalnya, Allah menakdirkan adanya orang kafir, agar muncul para da’i dan pejuang yang menyeru kepada kebenaran. Allah menakdirkan adanya penyakit, agar lahir kesabaran dan doa. Allah menakdirkan kematian, agar manusia tidak lalai dan tahu bahwa dunia ini sementara.
Jadi, tidak ada yang Allah ciptakan sia-sia. Semuanya ada maksud dan hikmah di baliknya.
6. Hadis Qudsi Tentang Kematian Orang Mukmin
Allah berfirman dalam hadis Qudsi:
“Tidak ada sesuatu pun yang Aku tunda pelaksanaannya seperti penundaan-Ku dalam mencabut nyawa hamba-Ku yang beriman. Ia membenci kematian, dan Aku membenci menyakitinya. Namun tidak ada jalan lain selain kematian itu.” (HR. Al-Bukhari)
Hadis ini menggambarkan kasih sayang Allah.
Orang beriman benci kematian, Allah pun membenci menyakitinya.
Namun kematian tetap harus terjadi karena ada hikmah besar di baliknya — yaitu berpindah menuju kehidupan abadi yang jauh lebih baik.
7. Perbedaan Antara Kehendak Kauniyyah dan Kehendak Syar‘iyyah
Syaikh Al-‘Utsaimin menjelaskan perbedaan keduanya dari dua sisi:
a) Dari Segi Kepastian Terjadinya
- Kehendak Kauniyyah: pasti terjadi.
Kalau Allah sudah berkehendak secara kauniyyah, maka tidak ada yang bisa menghalangi. - Kehendak Syar‘iyyah: belum tentu terjadi.
Allah menghendaki semua manusia beriman, tapi kenyataannya tidak semua mau beriman.
b) Dari Segi Objek Kehendak
- Kehendak Syar‘iyyah: hanya mencakup hal-hal yang Allah cintai, seperti iman dan amal saleh.
- Kehendak Kauniyyah: mencakup semua hal, baik yang Allah cintai maupun yang Allah benci, karena di baliknya ada hikmah besar.
8. Contoh Kasus untuk Memahami Dua Kehendak Ini
- Iman Abu Bakar ash-Shiddiq
Termasuk dua kehendak sekaligus: kauniyyah (karena terjadi) dan syar‘iyyah (karena Allah mencintainya). - Kekufuran Abu Thalib
Termasuk kehendak kauniyyah (karena terjadi), tapi tidak termasuk syar‘iyyah (karena Allah tidak menyukainya). - Iman Abu Lahab (andaian)
Termasuk kehendak syar‘iyyah (karena Allah mencintai iman), tapi tidak kauniyyah (karena tidak terjadi). - Kekufuran Abu Lahab
Termasuk kauniyyah (karena terjadi), tapi tidak syar‘iyyah (karena dibenci Allah).
Dari contoh-contoh ini, Syaikh menyimpulkan bahwa:
- Kadang dua kehendak Allah bertemu dalam satu perbuatan.
- Kadang hanya salah satunya.
- Dan kadang dua-duanya tidak ada, seperti andaian orang beriman lalu menjadi kafir — itu tidak terjadi dan tidak Allah cintai.
9. Hikmah di Balik Kehendak Allah
Allah berfirman:
“Engkau memberikan kerajaan kepada siapa yang Engkau kehendaki dan mencabut dari siapa yang Engkau kehendaki…” (QS. Ali Imran: 26)
Semua yang Allah lakukan pasti ada alasannya.
Tidak mungkin Allah melakukan sesuatu tanpa tujuan.
Jika Allah menurunkan ujian, mencabut nikmat, atau menakdirkan kesulitan, maka di baliknya pasti ada hikmah, meskipun manusia tidak selalu memahaminya.
Allah berfirman:
“Dan kamu tidak dapat berkehendak kecuali apabila Allah menghendaki. Sungguh, Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al-Insan: 30)
Ayat ini menegaskan bahwa kehendak Allah selalu disertai ilmu dan hikmah.
10. Menafsirkan Ayat: “Allah Tidak Ditanya Tentang Apa yang Dia Lakukan”
Allah berfirman:
“Dia tidak ditanya tentang apa yang Dia perbuat, dan merekalah (manusia) yang akan ditanya.” (QS. Al-Anbiya: 23)
Bukan berarti Allah bertindak tanpa alasan.
Maksudnya: karena Allah Maha Sempurna, maka perbuatan-Nya tidak boleh dipertanyakan dalam bentuk protes.
Namun, kita boleh bertanya untuk belajar, sebagaimana para malaikat bertanya kepada Allah tentang penciptaan manusia, bukan karena menolak, tapi karena ingin memahami hikmahnya.
11. Hikmah dari Ayat “Insya Allah”
Allah berfirman:
“Dan jangan sekali-kali kamu mengatakan terhadap sesuatu: ‘Aku pasti melakukan itu besok,’ kecuali dengan mengatakan: ‘Insya Allah.’” (QS. Al-Kahf: 23–24)
Ayat ini mengingatkan kita bahwa segala rencana manusia sepenuhnya bergantung pada kehendak Allah.
Tidak ada yang bisa terjadi tanpa izin-Nya, tapi setiap takdir-Nya juga pasti penuh hikmah dan kebaikan.
Kesimpulan
- Kehendak Allah ada dua:
- Kauniyyah: pasti terjadi, mencakup yang dicintai dan dibenci Allah.
- Syar‘iyyah: hanya mencakup yang dicintai Allah, tapi belum tentu terjadi.
- Maksiat bisa termasuk kehendak Allah secara kauniyyah (karena terjadi), tapi tidak termasuk syar‘iyyah (karena Allah membencinya).
- Semua perbuatan Allah pasti mengandung hikmah dan ilmu.
Tidak ada takdir yang sia-sia, meskipun kadang hikmahnya tersembunyi. - Masyi’ah Allah mencakup semua makhluk, tapi manusia tetap diperintahkan untuk mengikuti kehendak syar‘i Allah, dan tidak boleh menjadikan takdir sebagai alasan untuk berbuat dosa.
Disarikan ulang dari artikel Markaz Inayah