Mungkin jika Anda mendengar bahwa seseorang pada masa sekarang tidak punya media sosial, maka orang itu bisa dikatakan aneh. Bagaimana tidak, media sosial, sudah menjadi kebutuhan yang pokok dan primer bagi orang jaman now.
Sebut saja, media sosial macam Facebook, Instagram, Twitter, Youtube bahkan sampai yang terbaru sekarang adalah TikTok. Pada media-media tersebut, bisa tersimpan maslahat dan mudhorot.
Dikatakan maslahat jika digunakan untuk berdakwah maupun mencari ilmu syar’i. Misalnya, ada ustadz yang melakukan ta’lim live rutin melalui Facebook. Mungkin kita sebagai followersnya mendapatkan notifikasi Facebook. Lalu, dengan membaca Basmalah, kita ikuti ta’lim tersebut.
Ya, meskipun tidak bisa hadir secara langsung, apalagi masih di tengah pandemi Covid-19 ini, tetapi setidaknya kita sudah berusaha hadir. Berupaya untuk mereguk nikmatnya ilmu syar’i dari ustadz tersebut. Harapannya, menambah pemahaman kita terhadap agama yang mulia, serta bisa juga menyebarkan ilmu tersebut kepada orang yang membutuhkan. Tentunya, kita berusaha pula mengamalkannya dong!
Sedangkan mudhorotnya adalah dapat menghabiskan waktu. Hari-hari Anda bisa diisi oleh aktivitas yang tidak terlalu berguna. Sering mengecek medsos, itu sebenarnya menandakan bahwa Anda tidak banyak melakukan aktivitas lain, yang lebih berguna begitu. Benar bukan?
Ada Apa sih?
Dalam sebuah rekaman yang pernah viral di media sosial, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan kita, Nadiem Makarim, ditanya oleh si pewawancara. Mengapa sang menteri tidak punya akun media sosial?
Jawabannya kira-kira begini. Media sosial menjadikan seseorang seperti bukan dirinya sendiri. Dia berusaha di media sosial untuk tampil sebaik mungkin. Dan, ada satu perkataannya beliau bahwa orang yang tadinya pasif di media sosial, tiba-tiba jadi rajin mengunggah status, maka beliau akan bertanya kepada teman tersebut, “Kenapa, Bro? Ada apa Bro?”
Baca Juga: Hukum Memakan Hasil Penjualan Rokok Dalam Islam
Rupanya, beliau menganggap bahwa temannya sedang ada masalah. Makanya, menumpahkannya lewat media sosial. Dan, kasus seperti ini banyak terjadi. Contohnya, seorang istri yang mengeluh bahwa suaminya seorang perokok. Dia membuat status di Facebook.
Herannya, tidak ada solusi sama sekali dari kalimatnya di medsos tersebut. Justru, tanggapan bukan sebagaimana yang diinginkannya. Seharusnya dia itu berkaca, mengapa dahulu mau menikah dengan seorang perokok? Apakah dia tidak sadar dengan resiko besar terkena berbagai macam penyakit yang bisa menyerang dirinya dan anak-anaknya?
Lalu, apakah dengan status tersebut, suaminya tiba-tiba langsung berhenti? Oh, belum tentu! Justru, bisa jadi dia tambah menjadi-jadi merokok karena “aibnya” sudah diumbar di publik. Bukankah banyak temannya di Facebook adalah temannya pula di dunia nyata?
Mestinya, bagi yang perokok berat, perlu diterapi oleh dokter atau tenaga kesehatan lainnya. Sebab, merokok itu sendiri juga bisa karena berbagai macam sebab. Bisa karena faktor keturunan, ikut-ikutan, coba-coba yang akhirnya jadi kecanduan, menganggapnya itu tren atau gaya masa kini dan lain sebagainya.
Solusi Praktis: “Pecat Saja!”
Maaf, pada subjudul ini bukan atau tidak sama sekali menyangkut keadaan sekarang yang notabene banyak PHK atau pemecatan karena pandemik. Namun, yang lebih ditekankan adalah sejatinya kita adalah bos dari media sosial. Bos dari akun kita sendiri.
Begini. Pada dasarnya setiap orang memang berhak untuk memperlakukan akun medsosnya untuk berbagai hal. Ada yang sering memposting tentang dakwah, bisnis, makanan, rumah tangga atau malah hoax. Kebebasan dalam memperlakukan medsos tersebut karena memang gratis ketika dipakai, kecuali paket internet atau HP-nya.
Bahkan, ada pula yang sampai punya beberapa akun. Entah apa saja tujuannya? Semoga saja positif dan cukup bermanfaat.
Nah, kita bisa mengendalikan sesuatu yang kita unggah di medsos tersebut. Untuk mencegah hoax, maka sebelum menekan tombol “Posting”, kita perlu berpikir terlebih dahulu. “Kira-kira, kalau saya posting ini, apa manfaatnya? Adakah kerugiannya bagi saya dan orang lain? Apakah ini benar? Apakah ini bermanfaat?”
Pertanyaan-pertanyaan semacam itu bisa membuat kita tidak serta-merta menuruti keinginan pribadi yang terkadang menggebu-gebu. Atau ikut orang lain yang memviralkan postingan tersebut. Bukankah nyala api akan lebih cepat tersebar melalui kayu-kayu yang kering? Oleh karena itu, semestinya pikiran kita selalu basah, dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan di paragraf sebelum ini.
Baca Juga: Berqurban Tanpa Mengorbankan Kesehatan
Sejatinya, kita bisa kok mengendalikan jempol saat main HP/gadget atau istilah bahasa Indonesianya adalah gawai. Namun, yang mungkin sulit untuk kita kendalikan adalah teman-teman kita. Bisa jadi, kita sudah mencegah mereka untuk tidak sembarang posting, tetapi penerimaan mereka berbeda-beda. Ada yang menurut, ada pula yang tidak.
Dari kenyataan seperti itu, untuk bisa menjalankan medsos dengan nyaman, kuncinya gampang saja kok. Jika Anda merasa ada teman medsos yang tidak Anda sukai postingannya, maka Anda boleh memilih. Apakah seterusnya akan berteman dengan Anda ataukah Anda memutus pertemanan dengannya di media tersebut?
Janganlah Anda mengeluh dengan statusnya orang, sementara Anda masih berteman dengannya. Berarti kalau begitu, Anda akan terus menerima postingan-postingan darinya yang menyebalkan atau menjengkelkan itu.
Termasuk jika Anda sebagai perempuan menemukan ada teman di medsos yang berani alias nekat untuk menghubungi Anda, bahkan dengan jurus semacam rayuan, maka Anda perlu untuk memutus pertemanan dengannya. Anda sering melihat dia melihat cerita atau status Anda di FB, suka memberi like, simbol love, share status Anda sendiri, ini jangan-jangan Anda sedang dijadikan targetnya.
Jangan salah, jika ada jenis laki-laki semacam itu, maka belum tentu cuma Anda seorang. Mungkin saja, dia juga meluncurkan jurus kepada orang lain. Anda jangan merasa GR alias terlalu pede ya!
Dengan Allah Pastilah Berbeda!
Bagi Anda yang tiba-tiba diputus pertemanan dan Anda merasa tidak ada salah apa-apa, maka terimalah kenyataan tersebut. Setiap orang bebas untuk memilih temannya di jagat dunia maya. Termasuk jika Anda perempuan, maka – yah – demi lebih menjaga diri, teman juga mesti perempuan.
Keadaan putus pertemanan tersebut, beda sekali keadaannya antara seorang hamba dengan Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Allah tidak akan pernah memutus ikatan Tuhan dengan hamba-Nya, selama hamba-Nya memang tidak mau lari dari Allah.
Kita bisa melihat dalil di Al-Qur’an berikut!
“Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan kembalilah kamu kepada Tuhanmu, dan berserah dirilah kepada-Nya sebelum datang azab kepadamu kemudian kamu tidak dapat ditolong (lagi).” (QS az-Zumar: 53-54).
Allah selalu menyediakan kesempatan bagi siapapun yang ingin kembali kepadanya. Selama napas masih ada dan nyawa masih melekat di badan. Ketika Anda memutus pertemanan di jaringan medsos atau Anda sendiri diputus pertemanan pula, maka saatnya untuk lebih menjalin hubungan yang lebih mesra dengan Allah Azza wa Jalla.
Wa’allohu alam bisshawab.