Tawakal secara harfiah berarti mewakilkan atau menyerahkan urusan serta pasrah & percaya sepenuh hati kepada Allah. Karena tak bisa dipungkiri bahwa manusia adalah makhluk yang lemah dan selalu butuh kepada selainnya dalam segala urusan. Maka sudah sepantasnya manusia sadar akan kelemahannya dan mencari sesuatu di luar dirinya yang dapat ia jadikan sebagai sandaran ketika lelah dan sebagai pendengar ketika risau. Namun siapakah yang paling pantas untuk menjadi sandaran dan pendengar itu? Sedangkan manusia lainnya juga memiliki kelemahan yang sama. Maka jawabannya adalah Allah Ta’ala karena ialah satu-satunya Dzat yang maha kuat lagi maha mendengar.
Tawakal adalah salah satu akhlak yang banyak mulai dilupakan oleh kaum muslimin. Padahal tawakal adalah akhlak yang sangat penting karena merupakan tameng yang bisa melindungi seorang hamba dari rasa cemas dan ketakutan. Di dalam Al-Qur’an, Allah Ta’ala menyinggung hal ini tatkala menjelaskan mengenai wali-wali-Nya pada QS. Yunus ayat 62-63:
أَلَا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ. الَّذِينَ آمَنُوا وَكَانُوا يَتَّقُونَ
Terjemahnya:
“Ingatlah wali-wali Allah itu, tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan senantiasa bertakwa.”
Ayat di atas memberikan faidah kepada kita bahwa di antara keistimewaan yang dimiliki oleh wali-wali Allah adalah tidak adanya ketakutan dan kesedihan pada diri mereka, yang mana ini menandakan bahwa mereka adalah manusia yang paling kuat batinnya.
Fenomena banyaknya orang yang depresi karena terlalu memelihara rasa cemas dengan memikirkan sesuatu yang belum terjadi adalah bukti nyata bahwa tawakal sudah menjadi solusi yang asing di tengah-tengah umat. Padahal dengan bertawakal, seseorang tidak lagi perlu berobat ke psikolog & psikiater ketika merasakan trauma kesedihan atau kecemasan karena obat dari keduanya adalah keimanan & ketakwaan. Keimanan kepada takdir Allah di masa yang akan datang bahwa semuanya pasti sudah ditakar secara sempurna, dan ketakwaan dengan menempuh masa depan itu sesuai jalur yang telah diatur oleh syariat-Nya. Dengan demikian, Allah akan mengangkat status seorang hamba menjadi wali-Nya sehingga mendapatkan jaminan berupa terbebas dari kesedihan dan ketakutan.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah pernah berkata:
“Barang siapa yang ingin menjadi manusia yang paling kuat maka hendaklah ia bertawakkal kepada Allah.” (Majmū’ al-Fatāwā: 1/50)
Kemudian di surah yang lain, Allah Ta’ala memberikan contoh sosok tauladan dalam mengamalkan ilmu tawakal, yaitu Nabi Ya’qub alaihissalam. Dimana dalam surah Yusuf kebanyakan kita hanya berfokus kepada kacamata nabi Yusuf tatkala beliau dengan kesabaran yang berlapis-lapis bisa menjadi hamba yang terpandang dalam tatanan masyarakat Mesir pada masa itu. Sementara di sisi lain, ada ayah beliau yaitu Nabi Ya’qub alaihissalam yang mengajarkan kita mengenai tawakal dan keyakinan yang sempurna kepada Allah Ta’ala ketika ditimpa kesedihan yang begitu amat mendalam yang bahkan disebutkan bahwa beliau buta karena kesedihan tersebut. Namun justru kesedihan itu bukanlah kesedihan yang kekal dan kebutaan beliau sembuh karena beliau telah menyandarkan urusannya dan mengadukan kesedihannya kepada Allah Ta’ala yang mana semua itu didasari oleh keyakinan yang sudah beliau tanamkan di awal bahwa janji Allah adalah benar.
قَالَ إِنَّمَا أَشْكُو بَثِّي وَحُزْنِي إِلَى اللَّهِ وَأَعْلَمُ مِنَ اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ.
Terjemahnya:
Dia (Yakub) menjawab, “Hanya kepada Allah aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku. Dan aku mengetahui dari Allah apa yang tidak kamu ketahui. (QS. Yusuf 12:86)
Namun perlu digarisbawahi bahwa Nabi Ya’qub alaihissalam tidak hanya bertawakal saja, lalu menunggu solusi terbaik melainkan disertai dengan usaha berupa meminta pertanggungjawaban kepada saudara-saudara nabi Yusuf alaihissalam atas kesalahan dan kelalaian yang telah mereka perbuat sebelumnya, yang mana hal tersebut adalah pengantar untuk menuju ending yang sangat sempurna hingga Allah Ta’ala mensifati kisah tersebut sebagai Ahsanul Qasas (kisah yang terbaik).
Ada pepatah arab yang berbunyi:
إذا صدق العزم وضح السبيل
“jika tekat telah bulat maka jalannya akan jelas”.
Muncul pertanyaan Apakah pepatah tersebut sudah benar dan sempurna? Jawabannya belum, karena jalan yang jelas saja belum cukup untuk mengantarkan sampai ke ujungnya, jika tidak disertai dengan tawakal dan usaha untuk menempuhnya.
Allah Ta’ala berfirman:
…فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ
Terjemahnya:
…Kemudian, apabila engkau telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sungguh, Allah mencintai orang-orang yang bertawakal. (QS. Ali Imran 3:159)
Alangkah sempurnanya karunia dan nikmat Allah kepada hamba-hamba-Nya. Mereka butuh kepada-Nya, menyerahkan urusan mereka kepada-Nya lalu Allah memberikan apa yang mereka inginkan ditambah dengan nikmat yang paling besar yaitu cinta dari-Nya.
Makkah al-Mukarramah
Penulis: Ust. Agung Izzul Haq, S.H