Ketika membaca kisah perjalanan Rasulullah ﷺ ke Tha’if, jangan pernah menganggap bahwa Zaid bin Haritsah hanya sekedar “pemain figuran”. Justru Zaid bin Haritsah itu sedang merasakan nikmatnya “shuhbah” (pergaulan intens, pendampingan).
Dalam tradisi kepesantrenan, kita mengenal adanya istilah “santri nginthil”. Nginthil berasal dari kata “kinthil” yang artinya selalu ikut kemana-mana. Identik dengan istilah “mulazamah”. Cara ini sangat efektif, bukan hanya mentransfer ilmu, tapi juga menularkan adab dan sekian banyak soft skill.
Materi pendidikan dan pembinaan, sebagiannya tidak cukup hanya diteorikan. Bahkan ada bagian-bagian yang tanpa diteorikan justru melekat kuat dan membekas, ketika sang murid melihat contohnya secara langsung.
Kadang disebut “hidden curriculum”. Kurikulum yang tersembunyi, tidak dituangkan di atas kertas. Terselubung dalam interaksi antara guru dan murid. Dilihat, didengar, dirasakan, lalu meresap dan membekas.
Contohnya tentang ketawadhu’an, kesabaran, keberanian, tawakkal, dan sebagaianya. Hal-hal seperti itu tidak cukup diteorikan, tapi ditularkan lewat keteladanan. Termasuk leadership (qiyadiyyah).
…
Pemimpin tangguh yang muncul secara alamiah, prosentasenya tidak sampai satu persen. Pemimpin dengan kualifikasi seperti ini disebut “raahilah” oleh Rasulullah ﷺ. Raahilah adalah unta yang sanggup menempuh jarak yang sangat jauh, sekaligus membawa muatan yang berat.
Kata Rasulullah ﷺ, “Manusia itu seperti unta yang dalam jumlah seratus, hampir-hampir engkau tidak bisa dapatkan satu raahilah.” Artinya, prosentase SDM yang berkualifikasi “raahilah” ini kurang dari satu persen dalam sebuah populasi.
Namun Rasulullah ﷺ menunjukkan kepada kita, bahwa pemimpin selain “dilahirkan”, juga bisa “dicetak”. Dalam kurun 23 tahun beliau bisa membuktikan. Beliau mencetak kader berkualifikasi pemimpin yang prosentasenya jelas tidak sedikit. Bahkan mungkin sampai 20%.
Bisa dibilang, semua alumni Darul Arqam adalah para pemimpin. Bahkan as saabiquunal awwaluun secara umum adalah para leader. Di antara mereka ada yang menjadi pemimpin di bidang militer, ada yang di bidang politik, ada yang di bidang keilmuan, dsb. Termasuk Zaid bin Haritsah radhiyallahu ‘anhu.
Dalam tradisi jahiliyyah, orang seperti Zaid bin Haritsah tidak mungkin diberi peluang menjadi pemimpin. Meskipun kompeten.
Dulu ia adalah budak. Seorang budak, meski telah merdeka tetap dipandang sebelah mata. Jangankan budak, yang yang merdekapun asal tidak berdarah Quraisy maka jangan harap dapat hak-hak istimewa. Mereka tidak punya privilege sebagaimana Quraisy.
Namun bersama Rasulullah ﷺ, Zaid mampu membuktikan. Dalam sekian banyak sariyah (peperangan yang tidak diikuti oleh Rasulullah), beliau adalah komandannya. Meskipun di dalam pasukannya terdapat sekian banyak asyraaf Quraisy dan para bangswan Aus maupun Khazraj, ia yang ditunjuk jadi komandan.
Puncaknya, beliau menjadi komandan utama di Perang Mu’tah. Memimpin 3.000 pasukan, mendekat ke jantung kawasan Syam. Ini baru di bidang militer.
Bukan hanya di bidang militer. Di bidang politik, Zaid bin Haritsah pun tidak diragukan. Beliau pernah ditunjuk sebagai wali Madinah, menggantikan Rasulullah ﷺ saat beliau keluar memimpin pasukan.
“Kan cuma plt (pelaksana tugas)..?”. Ya, tapi itu tidak mudah untuk di Madinah. Madinah itu struktur sosialnya sudah mapan dan juga rumit, sebelum Rasulullah ﷺ hijrah kesana. Terjadi persaingan antara Aus dan Khazraj. Perang berdarah-darah berkepanjangan.
Orang Aus belum tentu terima dipimpin Khazraj. Pun demikian Khazraj, belum tentu legowo dipimpin dari Aus. Tapi ini Zaid, seorang pendatang. Mantan budak pula. Sekali lagi Zaid bin Haritsah menunjukkan kepemimpinannya. Kepemimpinannya efektif dan nyaris tanpa gejolak.
Dari mana Zaid bin Haritsah mempelajari itu semua? Dari siapa lagi kalau bukan pemimpin terbesar sepanjang masa, baginda Rasulullah ﷺ. Beliau mu’aayasyah, hidup bareng. Melihat dari dekat, merasakan langsung, dan menyerap sebanyak-banyaknya skill kepemimpinan Rasulullah ﷺ.
Zaid bin Haritsah hanya salah satu. Sisanya, sedemikian melimpah jumlahnya. Hingga ketika wilayah Islam di zaman Umar meluas dan membentang dari timur ke barat, Amiirul Mu’minin tidak pusing mencari pemimpin. Tinggal tunjuk “Fulan ke Syam, Fulan ke Mesir, Fulan ke Yaman, Fulan ke Bashrah..” dst.
Allahu a’lam
Majelis Tadarus Sirah
Murtadha Ibawi