Sebagaimana kita tahu, bahwa aqidah atau tauhid ini hal yang mendasar dalam agama Islam. Jangan dulu bicara segala macam, termasuk dalam urusan ibadah hingga perbedaan pendapat di dalamnya, sebelum mengetahui lebih dalam tentang tauhid.
Tiga Macam Tauhid, Apa Saja Itu?
Sebagaimana pernah ditulis dalam artikel atau rangkuman ta’lim rutin yang lalu, bahwa tauhid itu memang terbagi menjadi tiga. Pertama adalah Tauhid Rububiyah. Artinya adalah tauhid yang mendasarkan pada perbuatan Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Contohnya adalah Allah yang menciptakan, Allah yang memelihara alam semesta ini, Allah yang mengatur panas dan hujan, siang dan malam, serta perbuatan-perbuatan Allah yang lain.
Kedua adalah Tauhid Uluhiyah. Kalau yang ini kaitannya dengan perbuatan hamba terhadap Allah. Bentuknya adalah hamba tersebut meminta kepada Allah, berdoa kepada Allah, menyerahkan semuanya kepada Allah. Jadi, tidak ada sesuatu pun selain Allah tempat yang dituju untuk segala urusan.
Tauhid yang ketiga adalah Tauhid Asma wa Shifat Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Dari namanya sudah terlihat bahwa tauhid ini kaitannya dengan nama dan sifat Allah. Misalnya, Ar-Rahman, artinya Allah yang Maha Mengasihi. Ar-Rahim, Allah yang Maha Menyayangi. Dan seterusnya.
Tauhid Sempurna 100 %
Jika kita ditanya, sejak kapan tauhid ini dibagi menjadi tiga? Apakah sejak zaman dulu, ketika para sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam masih hidup? Ternyata tidak seperti itu. Pada zaman tersebut, belum ada pembagian tauhid menjadi tiga. Hal ini karena mereka mengimani tauhid secara sempurna. Meyakini apa adanya sebagaimana yang diajarkan oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam.
Adanya tiga pembagian tauhid itu adalah untuk menjelaskan pemahaman-pemahaman sesat dan menyimpang yang terjadi sampai hari ini. Pemahaman seperti Khawarij, Mutazilah, Qadariyah, Syiah dan lain sebagainya bisa muncul karena tauhid yang salah dipahami. Bila ada orang atau sekelompok orang yang meyakini di luar tiga tauhid yang disebutkan di atas, maka orang itu termasuk melakukan kebid’ahan. Pelaku bid’ah.
Sudah terjadi atau dalam kenyataan yang ada, kelompok yang mengingkari nama dan sifat Allah ini. Mereka tidak mau menyebutkan Allah sebagai Ar-Rahman. Kalau menyebut nama, cukup Allah saja, mereka masih setuju.
Begitu pula dengan orang kafir Quraisy ketika Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam masih hidup. Ketika membuat perjanjian dengan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, mereka tidak mau ada tulisan Bismillahirrahmanirohim. Demikian juga dengan nama rasul kita, cukup maunya ditulis Muhammad bin Abdillah saja.
Lebih Khusus Tentang Tauhid Asma wa Shifat
Bagaimana sih kita mengkaji Tauhid Asma wa Shifat ini? Rupanya jawaban yang tepat adalah mesti sesuai dengan yang dimaui oleh Allah di dalam Al-Qur’an dan sesuai dengan hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.
Bagaimana pula ketika ada orang bertanya kepada kita, apa sih aqidahmu? Kira-kira atau pastinya Anda akan menjawab apa? Anda bisa memberikan pernyataan bahwa aqidah kita adalah sesuai dengan aqidah empat imam mazhab. Jika orang itu masih ngeyel bin ngotot, atau dia tidak tahu siapa saja empat imam mazhab itu, maka kita jawab saja, bahwa aqidah kita sesuai dengan Imam Syaf’i Rahimahullah. Masa dengan Imam Syaf’i, dia tidak tahu juga?
Apakah kita perlu mengkaji tauhid nama dan sifat ini lebih dalam? Rupanya, tidak harus seperti itu. Boleh kita pelajari tauhid ini untuk lebih dekat dalam mengenal Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Bukankah ketika kita makin mengenal Allah, maka rasa cinta kepada-Nya akan makin besar?
Kelompok Sesat Pengikut Hawa Nafsu
Rasanya memang kurang seru jika berbicara tentang tauhid, tidak diungkap tentang kelompok-kelompok yang menyimpang. Kelompok pertama adalah Khawarij. Golongan ini menjadi-jadi setelah ada perundingan antara Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu Anhu dengan Muawiyah bin Abi Sofyan Radhiyallahu Anhu. Ali mengutus Abu Musa Al-Asyari sedangkan Muawiyah mengutus Amr bin Ash. Oleh Khawarij, keduanya dicela karena dianggap membuat hukum, selain hukum Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Kelompok berikutnya adalah Mutazilah. Pencetusnya adalah Wasil bin Atha, murid dari Hasan Al-Basri Rahimahullah. Kata Wasil, pelaku dosa itu bukan orang beriman, tetapi juga bukan orang kafir. Jadi, dia berada di tengah-tengah.
Bagi orang yang belum tahu, Wasil bin Atha ini sebenarnya sangatlah cerdas. Namun, dia punya kekurangan tidak bisa menyebutkan huruf R atau ra. Nah, suatu kali, dia “dikerjain” oleh teman-temannya untuk ceramah atau pidato di depan umum. Secara tiba-tiba, tanpa persiapan sama sekali. Apakah dia langsung pingsan di tempat?
Ternyata tidak sama sekali! Wasil mampu menghadapinya. Dia tetap bisa ceramah di depan umum tanpa menyebut huruf ra sama sekali. Bayangkan! Dia mampu mengganti kata-kata dalam bahasa Arab yang punya lafadz ra dengan kata-kata yang lain. Bahkan penyebutannya pun termasuk cepat dan lancar. Teman-temannya tertegun. Melongo. Tidak menyangka sama sekali ternyata Si Wasil bisa melewati ujian itu. Betul-betul luar biasa!
Untuk kelompok selanjutnya adalah Qadariyah. Kelompok ini tidak percaya dengan takdir Allah, karena semuanya berada pada kehendak manusia. Lawannya adalah Jabariyah. Semuanya adalah kehendak Allah, tidak ada kehendak manusia.
Dan, kelompok terakhir yang disebutkan dalam ta’lim rutin ini adalah Syiah. Ini yang cukup parah. Mereka memunculkan ibadahnya tiap tahun, terutama di hari Asyura. Perlu diketahui, Syiah itu ada tiga. Pertama, yang menganggap Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu Anhu lebih mulia dibandingkan para sahabat yang lain.
Kedua, mencela para sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Mencela di sini sampai dengan mengkafirkan mereka. Ketiga, menganggap Ali bin Abi Thalib sebagai Allah atau Tuhan.
Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu Anhu telah menghukum mereka dengan cara membakarnya. Namun, justru dia dianggap sebagai Allah karena cuma Allah yang menghukum manusia dengan api. Aneh juga ya jalan pikiran mereka. Dihukum dengan dibakar, dengan api, eh, malah Ali yang dianggap sebagai Tuhan. Kacau betul deh!
Pada akhirnya, masih kita saksikan penyimpangan mereka yang sampai melukai diri sendiri. Punggung sampai dengan kepala menjadi tempat pelampiasan kesedihan mereka atas terbunuhnya Husein bin Ali bin Abi Thalib. Mungkin anggapan mereka, kalau tidak sampai berdarah-darah, kurang asyik gitu. Kurang marem. Kurang joss. Silakan cari saja buktinya di internet atau dari sumber-sumber yang terpercaya.
Wa’allahu alam bisshawab
Sumber:
Ta’lim rutin Maghrib – Isya, pada tanggal 8 Rajab 1441 Hijriyah atau tanggal 3 Maret 2020, oleh Ustadz Akbar Jabba, S.Pd.I (Ketua DPD Wahdah Islamiyah Bombana), di Masjid An-Nur, Ponpes Al-Wahdah, Bombana