Kolaborasi dalam Dakwah & Tarbiyah

Suara adalah nikmat Allah yang diberikan kepada banyak hamba-Nya. Bersyukurlah kita diberikan suara yang jelas, terang dan mudah dipahami oleh orang lain. Tentang logat boleh berbeda. Ada yang medok, ada pula yang tidak. Ada yang logatnya Jawa, ada juga yang berlogat Bugis. Apapun bentuk logat dan gaya bicaranya, tetaplah harus disyukuri. Apalagi jika kedua logat itu bisa berjodoh pula. Betul ‘kan?

Kenikmatan pada suara itu mesti dimanfaatkan oleh si manusianya sendiri. Namun, dimanfaatkan untuk apa dulu ini? Sebagian menggunakannya untuk ikut dunia tarik suara. Misal, ikut audisi, berharap jadi artis terkenal, punya banyak penggemar, bisa rekaman, main film, jadi bahan berita di media dan lain sebagainya. Yah, impian besar, tapi cuma duniawi! Masih banyak orang seperti ini? Oh, jelas masih suaanggattt banyak!

Ambil contoh nyata. Seorang artis yang dulunya ikut audisi menyanyi. Ketika sudah dikenal banyak orang, suaranya dinanti-nantikan. Bahkan, acaranya saja baru akan dimulai jam delapan malam, tetapi orang sudah berbondong-bondong sejak sore. Lewat waktu Maghrib, lewat waktu Isya. Sekali lagi, apa yang mereka cari? Oh, ternyata suaranya yang bisa menyanyikan berbagai jenis lagu.

Baca Juga: Beberapa Hal yang Menjadi Ujung Akhir, Kembali Lagi ke Awal

Itu dari segi yang semestinya dianggap negatif oleh kita, kaum muslimin. Lalu, yang positif, seperti apa? Suara jelas bisa dipakai untuk membaca kitabullah. Membaca Al-Qur’an. Apalagi jika suaranya bagus, digunakan juga untuk memperindah bacaan Al-Qur’an. Masya Allah.

Keutamaan Memperindah Bacaan Al-Qur’an

Tentang memperindah saat membaca Al-Qur’an, boleh kita simak hadits berikut ini:

Hadist dari al-Barra bin Azib Radhiyallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam berpesan,
زَيِّنُوا الْقُرْآنَ بِأَصْوَاتِكُمْ
“Hiasilah Al-Quran dengan suara kalian.” (HR. Ahmad 18994, Nasai 1024, dan dishahihkan Syuaib al-Arnauth).
Masih dari perawi yang sama, Bara’ bin ‘Azib Radhiyallahu ‘Anhu, berkata, “Saya mendengar Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam membaca surat at-Tin pada waktu malam hari. Sungguh saya belum pernah mendengar suara yang lebih baik daripada suara beliau.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Kemudian, hadis dari Sa’d bin Abi Waqqash Radhiyallahu ‘Anhu, sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda,
لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَمْ يَتَغَنَّ بِالْقُرْآنِ
“Siapa yang tidak memperindah suaranya ketika membaca Al-Quran, maka ia bukan dari golongan kami.” (HR. Abu Daud 1469, Ahmad 1512 dan dishahihkan Syuaib al-Arnauth).
Nah, dari berbagai dalil di atas, memang kita disunnahkan untuk memperindah suara waktu membaca Al-Qur’an. Bagaimana jika suara kita dirasa kurang indah? Kalau untuk yang ini, bisa diatasi dengan banyak mendengarkan murottal dari bermacam qari. Harapannya, dari bacaan mereka, bisa sekaligus mempelajari cara membacanya agar bacaan kita sendiri lebih indah. Tentunya, juga harus benar sesuai hukum-hukum Al-Qur’an. 

Menangis Karena Apa?

Sebenarnya, domain menangis itu tidak hanya untuk kaum perempuan, tetapi juga untuk laki-laki. Sebab, keduanya diciptakan atau dipasangkan kelenjar air mata oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Sementara persepsi di masyarakat kita adalah laki-laki itu tidak boleh menangis, sementara perempuan boleh.

Baca Juga: Hijrah, Antara yang Dihapus dan Jangan Terputus Dalam Keadaan Khusus 


Kita bisa melihat misalnya ketika ada anak laki-laki terjatuh, lalu dia menangis. Orang tuanya atau keluarga atau juga tetangganya mengatakan seperti ini, “Hus, diam! Anak laki-laki tidak boleh menangis.” Pada akhirnya, sosok laki-laki diciptakan harus terlihat kuat, macho dan tidak boleh tersentuh dengan air mata. Pokoknya harus selalu tegar, semangat yang segar dan kondisi tubuh yang bugar.

Ini pun berpengaruh mungkin lho ya, pada penerapan agama kita. Katakanlah, ada laki-laki ingin menangis karena suatu sebab. Dia ingat dosa-dosanya. Menangis itu bagus. Karena itu pertanda ada penyesalan. Namun, ada semacam ego dalam diri bahwa laki-laki itu kurang pantas menangis. Yang lebih pantas itu perempuan. Akhirnya, dia usap air matanya dan tidak jadi menangis. Tidak lagi menyesal. 

Padahal, ketika membaca Al-Qur’an, sangat dianjurkan untuk menangis. Mendengar ayat-ayat tentang surga, dia menangis karena sangat ingin masuk di dalamnya, tetapi khawatir dengan dosa-dosanya yang seluas langit dan bumi.

Sementara, mendengar ayat-ayat tentang neraka, dia juga menangis, karena merasa khawatir, jangan-jangan lebih pantas untuk dimasukkan di sana karena dosa-dosanya yang terus bertambah dan bertambah. Khawatir, harap, takut, semua jadi satu. Semua terangkum dalam tangisan.

Akan tetapi, agar ketika membaca Al-Qur’an itu bisa membuat kita menangis, maka kita perlu tahu bacaannya, terlebih artinya, plus maknanya. Nah, untuk itu, kita butuh mengerti bahasa Arab. Sebab, Al-Qur’an ini memang diturunkan Allah dalam bahasa Arab.

Ada sebuah perumpamaan, antara bahasa Inggris dengan bahasa Arab. Pada era milenial sekarang, kemampuan bahasa Inggris sangat diperlukan, lho! Misalnya, bagi orang yang mau kuliah di luar negeri, butuh tes bahasa Inggris.

Namun, bagaimana jika orang tersebut ternyata tidak bisa berbahasa Inggris. Konsekuensinya, jelas, dia sulit diajak bicara atau berbicara dengan orang lain dalam bahasa internasional tersebut. Ketika ada bule yang bertemu dengannya untuk menanyakan jalan misalnya, maka orang itu akan megap-megap saja. Bingung. Pada akhirnya, bicara dengan orang bule itu cuma berkata “yes” atau “no”.

Itu kalau dari segi bahasa Inggris. Artinya sulit diajak komunikasi dengan sesama manusia, terlebih orang di luar Indonesia. Lalu, bagaimana dengan orang yang tidak bisa berbahasa Arab? Ini yang cukup parah dan miris. Dia akan sulit untuk diajak bicara dengan Rabbnya, padahal Rabbnya tersebut ingin berbicara dengannya melalui kitab-kitab-Nya dan dalil-dalil yang lain. Jadi, ruginya karena tidak bisa langsung mengenal lebih dalam dengan Allah.

Bahasa Karena Biasa

Suatu kali, ada seorang mahasiswa baru masuk di sebuah kampus Islam ternama di negeri ini. Waktu baru masuk, langsung disambut dengan Bahasa Arab. Tentu saja, sangat mengagetkan bagi mahasiswa tersebut. Waduh, baru juga jadi mahasiswa baru, sudah langsung dipaksa pakai Bahasa Arab ini. Stres dan tertekan, niat mau ke luar dia.

Eh, dikasih waktu selama dua bulan. Jika setelah dua bulan, masih pakai bahasa Indonesia, maka akan diberikan sanksi. Rupanya ada seorang ustadz atau gurunya yang mengajarkan seperti ini. Mahasiswa tersebut adalah orang Bugis. Ditanya, apakah pernah kursus bahasa Bugis? Ternyata tidak pernah sama sekali. Dia fasih bahasa Bugis karena sering melihat dan mendengar kedua orang tuanya bicara dalam bahasa tersebut. Begitu juga anggota keluarganya yang lain.

Sama kondisinya dengan di kampus tersebut. Bergabung dan berkumpul dengan teman-teman yang juga berbahasa Arab, maka akan semakin mempermudah untuk fasih atau lancar. Terbiasa mendengar dan bercakap-cakap, itulah yang membuat pengetahuan dan pemahamannya tentang bahasa Arab akan makin mujarab.

Beda halnya dengan orang yang belajar bahasa Arab, lalu berhenti. Diteruskan, berhenti lagi. Apakah faktor atau penyebab dari gurunya atau muridnya sendiri? Mungkin dikembalikan saja kepada masing-masing yang menjalani tersebut. Jika niatnya untuk lebih paham dan mengerti tentang Al-Qur’an, termasuk hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, maka semestinya belajar bahasa Arab selalu berada dalam semangat yang meluap-luap dan tidak mudah untuk menguap.

Wa’allahu alam bisshawab

Baca Juga: Bulan Al-Qur’an, Kapan Mau Dipersiapkan?

Sumber:
1. Ta’lim rutin yang dibawakan oleh Ustadz Darlan Bakri, SH (Alumnus STIBA-Makassar), pada Rabu tanggal 11 Maret 2020, bertempat di Masjid Haqqul Yaqin (Kompleks Kantor Bupati Bombana).
2. Situs internet konsultasi syariah

Media Partners Dakwah

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here