MUAMALAH – Sedih rasanya, setiap kali ada kebiasaan baik dari masyarakat yang sangat pantas untuk dilestarikan, dikait-kaitkan dengan manhaj salaf dan dianggap bahwa kebiasaan baik itu merupakan perbuatan yang menyelisihi salaf alias bid’ah.
Karena kurang memahami batasan-batasan bid’ah, menyebabkan seseorang menjadi tidak punya standar menghukumi sesuatu. Akibatnya, jika engkau bertanya padanya tentang standar bid’ah yang ia ciptakan sendiri, engkau akan melihatnya inkonsisten dengan apa yang ia ucapkan, sadar atau tanpa disadarinya.
Islam sebenarnya telah memberi kelonggaran pada perkara urf atau adat yang tidak menyelisihi syariat. Selama ia adalah perkara baik, tidak melanggar syariat, maka ia bisa dipertahankan bahkan dilestarikan, selama tidak melanggar batasan-batasan syariat itu.
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إن الله تعالى فرض فرائض فلا تضيّعوها ، وحدّ حدودا فلا تعتدوها ، وحرّم أشياء فلا تنتهكوها ، وسكت عن أشياء – رحمة لكم غير نسيان – فلا تبحثوا عنها
“Sesungguhnya Allah telah mewajibkan beberapa kewajiban maka janganlah kalian tinggalkan, Allah juga telah menetapkan batasan-batasan maka jangan melanggar batasan-batasan itu. Allah juga telah mendiamkan beberapa perkara sebagai bentuk kasih sayangNya kepada kalian, bukan karena lupa, maka jangan kalian cari hukumnya“. (HR. Thabrani, di hasankan oleh imam an-Nawawi dalam Arbainnya, juga oleh Imam Abu Bakar as-Sam’ani sebagaimana dinukil oleh Imam Ibnu Rajab dalam Jami’ul Ulum wal Hikam, juga di hasankan oleh Syaikh al-Albani rahimahullah).
Hadits ini, walau di perselisihkan kesahihannya, namun ulama yang melemahkan sanadnya tetap berkata bahwa makna dari hadits ini benar.
Imam Abu Bakar as-Sam’ani rahimahullah berkata:
ليس في أحاديث رسول الله حديث واحد اجمع بانفراده لأصول العلم الدين وفروعه من حديث ابي ثعلبة
“Tidak ada satu hadits pun dari Rasulullah yang walau secara tunggal mengumpulkan seluruh pokok-pokok ilmu agama beserta cabangnya melainkan hadits yang diriwayatkan lewat jalur Abu Tsa’labah ini.” (Jami’ul ‘Ulum Wal Hikam: 312)
Hadits ini harusnya bisa membuka wawasan berpikir kita, bahwa ada perkara-perkara yang didiamkan oleh Allah, bukan karena lupa, tapi ada kasihNya yang begitu besar yang Allah inginkan bisa sampai pada setiap hambaNya.
Imam Ibnu Rajab al-Hambali rahimahullah berkata:
إنما سكت عن ذكرها رحمة بعباده ورفقا حيث لم يحرمها عليهم حتى يعاقبوهم على فعلها ولم يوجبها عليهم حتى يعاقبهم على تركها بل جعلها عفوا فإن فعلوها فلا ,حرج عليهم وإن تركوها فكذلك
Allah mendiamkan perkara-perkara itu sebagai bentuk rahmat untuk setiap hambaNya dan menunjukkan kelembutanNya. Allah tidak mengharamkannya agar Dia tidak menghukum mereka karena hamba melakukannya. Allah tidak mewajibkan perkara itu agar ketika mereka meninggalkannya mereka juga tidak mendapatkan hukuman karenanya. Akan tetapi, Allah menjadikannya sebagai bagian dari ampunanNya, jika mereka melakukannya maka tidak ada dosa bagi mereka dan jika mereka meninggalkannya juga tidak mendapatkan dosa karenanya. (Jami’ul Ulum Wal Hikam: 321)
Maka dari itu, para ulama membuat kaidah-kaidah penetapan hukum, dengan maksud memperjelas batasan-batasan yang Allah tetapkan pada hambaNya.
Kita mungkin pernah mendengar kaidah fiqh yang berbunyi al-Umuur Bi Maqashidiha (Segala perkara dihukumi berdasar pada niatnya), atau al-Adatu Muhakkamah (Kebiasaan menjadi hukum). Maka jangan buat kaku pikiran kita hanya dengan istilah salaf. Karena ajaran salaf bukanlah ajaran yang Jumud (kaku), yang tidak bisa membedakan adat dengan hukum agama atau urf dengan syariat.
Dari sini, dipahami bahwa para ulama tidak serampangan mengaitkan sesuatu dengan tuntunan salaf lalu menyalah-nyalahkan manusia karena berbeda dengan sebagian amaliah mereka.
Adapun hadits yang menjelaskan bahwa perkara yang halal telah jelas dan perkara yang haram juga telah jelas, sedang diantara keduanya ada perkara yang samar, maka hadits tersebut tidak berkaitan dengan perkara urf masyarakat, apalagi jika dikaitkan dengan bid’ah yang sesat. Wallahul musta’an.
Syaikh Prof. Dr Muhammad Shidqi bin Ahmad al-Burnu rahimahullah berkata:
المراد بالمشتبهات في الحديث ما تنازعه دليلان أحدهما يدل على إلحاقه بالحلال والآخر يدل على إلحاقه بالحرام كما يقع ذلك عند تعارض الأدلة أما ما سكت عنه فهو مما عفا الله عنه
“Yang dimaksud dengan perkara samar dalam hadits tersebut adalah ketika terjadi perselisihan pada dua dalil, dimana satu hadits menunjukkan kehalalan sedang hadits lain menunjukkan pada keharaman, sebagaiamana terjadi pada dalil yang bertolak belakang. Adapun perkara yang Allah diamkan, maka itu merupakan perkara yang dibiarkan.” (Al-Wajiz Fi Idhahi Qawaid al-Fiqhiyah al-Kulliyah: 196)
Mudik adalah kegiatan tahunan masyarkat untuk berlibur ke kampung halamannya, agar bisa bertemu dengan orang tua, sanak saudara, kerabat dan lainnya.
Karena adanya waktu libur bersama, maka momen itu dimanfaatkan untuk pulang kampung, agar lebih bisa berbakti pada orang tua, menjalin silaturahmi dengan keluarga lainnya dan melepas rindu pulang kampung halaman yang selama ini sudah lama ditinggal karena mencari suaka atau karena sekolah.
Tidak ada satupun dari hal ini yang melanggar syariat, tidak bisa juga dihukumi bid’ah karena tidak ada ibadah baru yang dilakukan oleh masyarakat. Sebab kagiatan mudik itu hanyalah urf belaka.
Demikian pula dengan salam-salaman ketika lebaran. Suatu momen digunakan untuk saling bermaaf-maafan, hanya sekadar urf, tanpa ada niat memaghdhahkannya atau menetapkan ia sebagai ibadah wajib atau sunnah di hari raya.
Masyarakat Islam juga tahu, bahkan pada tingkatan yang sangat awam sekalipun, bahwa jika seorang bertemu dengan suadaranya dianjurkan bersalaman, sedang hari raya mereka cuma mengaplikasikan tuntutan itu. Lalu, salhakan jika dilakukan pada hari dimana orang-orang sangat ingin saling memaafkan?
Perbuatan orang-orang yang terlalu berlebihan bghirahnya dengan istilah salaf, sampai pada tingkat menyebar artikel bid’ahnya salam-salaman di hari raya, saya rasa cuma hati mereka telah dirasuki setan yang selalu mempermasalahkan hal ini lalu ia bersembunyi di balik jubah salafiyah untuk menipu manusia. Wallahul musta’an.
Penulis : Ust. Muhammad Ode Wahyu (Alumi STIBA Makassar)