Kolaborasi dalam Dakwah & Tarbiyah

Selama di dunia ini, hidup manusia memang tidaklah abadi. Pasti suatu saat nanti, akan meninggal dunia. Lalu, bagaimana agar umur itu terasa panjang dan lebih besar nilainya daripada yang asli?

Salah satu cara untuk kita bisa hidup sampai bertahun-tahun dengan amalan sholeh adalah melalui pemberian kepada orang lain. Hal yang lebih ditekankan di sini adalah memberikan harta.

Kita tahu, harta termasuk hal yang sangat disukai, bahkan mungkin paling disukai. Bekerja, dari pagi sampai sore, atau bahkan malam, demi mendapatkan harta.

Meskipun istilahnya adalah demi mendapatkan sesuap nasi, tetapi apakah cuma dengan sesuap nasi akan kenyang? Lalu, apakah tidak ada sayurnya? Lauknya? Ayam goreng misalnya?

Tentu manusia akan memilih yang paling banyak nilainya. Kalau ada setengah juta, untuk apa mesti dapat lima ratus ribu? Maksudnya, jutaan akan lebih dicari daripada yang cuma ratusan ribu, atau bahkan di bawahnya, puluhan ribu.

Kekuatan dari Wakaf

Mungkin kita pernah mendengar tentang wakaf. Mungkin bagi Anda yang belum pernah mendengar, paling tidak membaca di sini. Wakaf.

Berdasarkan pengertian yang ada, wakaf itu adalah memberikan sebagian harta kita kepada orang lain atau penerima wakaf dengan syarat-syarat tertentu.

Pertama, akad wakaf adalah lazim. Artinya bisa berlaku dengan hanya sekadar mengucapkan/mengikrarkan secara lisan. Tidak perlu pakai ucapan “saya menerima” layaknya ijab qabul. Oh, ya, Anda sendiri sudah menikah toh?

Kedua, pemberi wakaf bisa mensyaratkan penerimanya untuk siapa saja. Misalnya, akan memberikan wakaf rumah kepada Pak Ahmad. Atau kepada Pak Budi. Terserah dia.

Ketiga, saat sudah diserahkan wakaf tersebut, maka harus dipergunakan untuk tujuan semula. Contohnya wakaf tanah untuk dibangun masjid, maka harus dibangun masjid. Tanah tersebut tidak boleh dibuat bangunan lain atau malah dijual. Tentu ini butuh amanah yang besar dari penerima wakaf.

Ada kalanya muncul masalah dengan wakaf. Sebagai contoh, tanah wakaf yang digugat oleh masyarakat. Maka untuk menyikapi hal ini, perlu pengelola yang kredibel. Tidak sekadar amanah, tetapi mampu mengatasi masalah yang akan timbul.

Bagaimana pula jika ada anak yang ingin melencengkan wakaf dari orang tuanya? Mau diambil lagi atau justru dijual untuk mendapatkan keuntungan?

Seharusnya hal tersebut tidak boleh terjadi. Anak yang baik adalah menjaga harta dari orang tuanya, meskipun sudah meninggal dunia. Itulah yang dikatakan sebagai anak yang berbakti.

Kalau melihat dari keutamaan wakaf ini tentunya menjadi amal jariyah yang Insya Allah akan terus mengalir. Kita bisa bayangkan ketika dulu masjid pertama dibangun di Madinah. Pastilah ada orang yang mewakafkan tanahnya. Sampai lebih dari 1400 tahun, selama ada orang beribadah di sana, maka pahalanya akan terus berjalan. Enak ‘kan?

Begitu pula kita ingat sumur yang dibeli oleh Utsman bin Affan Radhiyallahu Anhu. Kisah yang sangat masyhur dan manfaatnya sampai dengan saat ini. Bahkan sampai dibuatkan rekening atas nama beliau untuk menampung hasil dari sumur tersebut. Masya Allah.

Bagaimana dengan Hibah?

Dari pengertian yang ada, hibah itu seperti hadiah. Menyerahkan barang kepada si penerima dengan bebas menggunakannya. Beda dengan wakaf yang harus sesuai peruntukan awalnya.

Untuk memberikan hadiah tidak perlu harus muluk-muluk, atau bahkan mahal. Cukup dengan sebuah cincin emas atau gelang cantik kepada istri, itu sudah membuatnya senang luar biasa. Insya Allah digolongkan sebagai suami yang perhatian, penuh cinta dan kasih sayang.

Padahal, mungkin saja, si suami tadi sudah menyakiti hati istri, maka dileburkannya dengan hadiah. Tidak masalah, selama hubungan mereka jadi baik-baik saja, atau malah lebih baik.

Kalau Warisan?

Pihak keluarga adalah yang paling berhak mendapatkan warisan dari orang yang sudah meninggal. Warisan ini berdasarkan wasiat dari jenazah.

Bisa jadi ada pihak dalam keluarga yang sampai berebut dengan warisan tersebut. Menyikapi hal ini, semestinya tidak perlu sampai terjadi. Sebab sudah diatur misalnya dengan surat wasiat.

Jika sengketa warisan tersebut tidak bisa diselesaikan dengan damai, maka perlu menempuh jalur pengadilan. Sebelumnya perlu dipahami, maka ketika ada konflik, perlu mengembalikannya ke aturan Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Sudah disebutkan dalam surah An-Nisa ayat 11, lalu ayat 12 dan di ujungnya atau ayat terakhir, dibahas tentang hukum warisan ini.

Hubungan dari Ketiganya

Apakah boleh seseorang mewakafkan semua hartanya setelah meninggal nanti? Jawabannya tidak boleh, maksimal adalah sepertiga saja, ketika si pemilik harta sudah benar-benar meninggal dunia.

Sedangkan ketika dia masih hidup, maka sah-sah saja dia mewakafkan semua hartanya. Sebab, itu masih menjadi hak dia, lebih tepat hak miliknya.

Kaitannya dengan hadiah, bila memberikan berupa barang, maka nilainya bisa jadi akan berbeda saat sudah berada di tangan penerima. Mungkin dia akan menjualnya dan ujungnya belum tentu pula untuk kebaikan.

Akan tetapi, wakaf mesti dibayarkan di jalan kebaikan atau di jalan Allah. Inilah bentuk pemberian dari seorang muslim dengan harapan hasilnya senantiasa bisa dipetik, meskipun si pemberinya sudah berada di alam kubur.

Dirangkum dari: Ceramah yang dibawakan oleh Ustadz Hendra Wijaya, Lc, MA pada tanggal 25 April 2020 di Fanpage Wahdah TV

Media Partners Dakwah

1 KOMENTAR

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here